Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof Imam Suprayogo : Ketika Umat Sedang Berada Di Masjidil Haram

Kamis, 30 Juni 2016 | 15.00 WIB Last Updated 2016-06-30T08:00:44Z
Setiap kali datang ke masjidil Haram dan juga di Masjid Nabawi, saya merasakan keindahan yang luar biasa. Keindahan yang saya makudkan itu salah satunya adalah adanya persatuan di antara umat Islam. Apapun madzhabnya, alirannya, golongannya, dan bahkan juga asal musasal negaranya, mereka semua bisa bersatu. Ketika dikumandang adzan dan iqamah, maka tidak ada yang berdebat dan apalagi meninggalkan tempat shalat karena perbedaan itu, tetapi justru sebaliknya, mereka dengan tenang mengikuti shalat imamnya, siapapun yang bertindak memimpin shalat berjama�ah.

Sekalipun sebenarnya perbedaan itu masih tampak, misalnya dalam meletakkan tangan setelah takbiratul ikram, yaitu ada saja yang tangannya tidak bersedekap tetapi lurus di lepas ke bawah. Perbedaan lain, sekalipun di tempat asalnya, mungkin saja bacaan basmallah dikeraskan dan begitu pula menggunakan doa qunut di akhir raka�at shalat subuh, tetapi ketika di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, bacaan basmallah tidak diterdengarkan dan begitu pula tidak menggunakan doa qunut, tetapi hal demikian itu tidak dianggap sebagai problem mendasar. Semuanya bisa menerima, tanpa harus menyalahkan yang lain.

Maka artinya, perbedaan itu tidak harus dibayar dengan harga mahal, yaitu dengan mengorbankan persatuan. Membaca qunut di waktu subuh dan atau membaca basmallah antara yang dikeraskan atau tidak, adalah memang masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi perintah bersatu adalah sedemikian jelas di dalam al Qur�an. Demikian pula nabi sendiri juga selalu mengajarkan tentang persatuan, agar saling mengenal, saling mencintai, saling menghargai di antara sesama, dan juga saling tolong menolong. Di antara sesama umat Islam hendaknya menjadi bagaikan sebuah bangunan yang antara bagian satu dengan lainnya saling memperkokoh.

Perbedaan pandangan yang amat tajam di antara dua madzhab yang berbeda tetapi masih saling menghargai dan akhirnya bersatu, pernah saya saksikan sendiri, yaitu di Khurazan. Wilayah itu berdekatan dengan Thus, yakni tempat kelahiran dan wafatnya Imam Al Ghazali, setelah beliau belajar dan juga menjadi ulama terkemuka di Baghdad. Di wilayah itu terdapat dua lembaga pendidikan Islam yang berbeda madzhab, yaitu satu mengikuti madzhab Sunny, sedangkan satu lagi adalah bermadzhab syi�ah.

Ketika berkunjung ke wilayah dimaksud, saya ditemui dan disambut oleh dua kelompok yang berbeda, yaitu ulama Sunny dan sekaligus juga oleh ulama Syi�ah. Dijelaskan oleh mereka bahwa, di tempat itu sudah lama, turun temurun, memiliki tradisi yang selalu dipegangi, yaitu adanya kebersamaan. Sebagai contoh kecil kebersamaan itu ialah manakala salah satu di antarnya kedatangan tamu yang dianggap penting, maka kedua kelompok madzhab yang berbeda tersebut selalu menemui bersama. Kedua lokasi lembaga pendidikan dimaksud tidak terlalu jauh jaraknya, sehingga usaha saling berkomunikasi tidak dirasakan sulit.

Rupanya kedua pengikut madzhab yang berbeda itu ingin menunjukkan bahwa sekalipun berbeda tetapi mereka bisa bersatu, saling menghargai, dan berhasil menjaga perdamaian. Ketika berkunjung ke kota itu, saya juga mendapatkan penjelasan bahwa ketika sedang memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw., yang menurut keyakinan mereka berbeda, maka di antara mereka juga saling mengundang. Pengikut madzhab Sunny meyakini bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw., pada tanggal 12 Rabi�ul awwal, sementara itu pengikut madzhab syia�h meyakini bahwa kelahiran utusan Allah itu pada tanggal 17 pada bulan yang sama. Dengan demikian, mereka memperingati pada hari atau tanggal berbeda, namun di antara keduanya saling mengundang dan juga selalu hadir.

Maka, perbedaan itu sebenarnya tidak harus menjadikan di antara kaum muslimin menjadi terpecah belah, dan apalagi saling bermusuhan. Salah satu misi mendasar kehadiran Islam adalah untuk menyatukan umat manusia. Di dalam al Qur�an disebutkan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan mereka dijadikan bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa dengan maksud, tidak lain adalah agar saling kenal mengenal. Juga dijelaskan bahwa yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Oleh karena itu, mendasarkan pada petunjuk kitab suci dan juga tauladan kehidupan Nabi, maka seharusnya antara umat manusia, dan apalagi di antara sesama umat Islam tidak saling bermusuhan. Umpama saja berhasil dalam membangun persatuan, apapun madzhab, aliran atau golongannya, sebagaimana ketika mereka sedang berada di Masjidil Haram, maka umat Islam tidak saja kuat, tetapi juga indah. Wallahu a�lam
 
×
Berita Terbaru Update