Sekarang ini banyak orang mengkhawatirkan terhadap pendidikan anak-anaknya. Mereka khawatir anak-anaknya tidak sukses hidupnya di kemudian hari disebabkan tidak memperoleh pendidikan yang benar dan berkualitas. Pada umumnya, orang tidak suka melihat anaknya menjadi nakal, bodoh dan atau tidak cerdas. Berapapun biaya yang harus dikeluarkan ------- jika masih memiliki uang, akan dibayar, asalkan dengan pendidikan yang dimaksudkan itu, anak-anaknya menjadi baik dan pintar.
Anak baik dan pintar akhirnya menjadi mahal harganya. Semua orang berkeinginan meraihnya. Namun keinginan itu juga tidak mudah dicapai. Lembaga pendidikan yang gedungnya bagus, lingkungannya terawat, peralatannya serba tercukupi, gurunya juga berwawasan luas dan profesional, ternyata juga tidak selalu menghasilkan lulusan yang diinginkan. Menyangkut pendidikan ternyata tidak mudah dipahami. Hukum pendidikan tidak selalu linier. Sekolah sederhana bisa menghasilkan lulusan yang baik, tetapi juga sebaliknya.
Sedemikian tinggi kepercayaan orang pada lembaga pendidikan, sehingga sekolah yang dikenal baik, unggul dan memiliki kelebihan diperebutkan. Mereka berkeinginan agar anaknya menjadi baik dan cerdas. Namun ukuran cerdas, sebenarnya juga sederhana, yaitu mampu menjawab soal-soal pada saat mengikuti ujian. Manakala seseorang berhasil menjawab pertanyaan, maka dianggapnya pintar dan pasti lulus. Ukuran sukses dan sederhana itu menjadikan banyak orang menyuruh anaknya berlatih menjawab soal, dan bahkan berani nekat, menjelang ujian, mencari kunci jawaban.
Rupanya kebanyakan orang lupa bahwa hidup sukses tidak selalu tekait dengan nilai ujian di sekolah. Anak yang nilainya pas-pasan ternyata dalam kehidupannya berhasil melampaui anak-anak yang berprestasi unggul. Kemampuan menjawab soal-soal ujian di sekolah tidak selalu sama dengan mengerjakan soal-soal kehidupan di tengah masyarakat. Gambaran tersebut mengingatkan tentang betapa pentingnya memahami konsep kedewasaan, yaitu adanya kedewasaan spiritual, kedewasaan social, dan kedewasaan intelektual dan lain-lain. Semua jenis kedewasaan dimaksud seharusnya diraih, sekalipun hal itu tidak mudah.
Seseorang tidak cukup hanya cerdas atau dewasa dari aspek intelektualnya, tetapi kekuatan itu harus disempurnakan dengan kekuatan lainnya. Seseorang yang pintar, dan akalnya kuat, tanpa disempurnakan oleh kekuatan spiritual dan sosialnya, maka akan sangat mungkin kerjanya memintari atau mengakali orang lain. Banyak orang yang dikenal cerdas dan atau berakal tetapi kerjanya hanya akal-akalan atau mengakali banyak orang. Orang yang demikian itu jika menjadi pejabat atau pemimpin justru akan merusak keadaan dan merugikan banyak orang.
Mendasarkan pada konsep kedewasaan sebagaimana dikemukakan di muka, seharusnya yang dikembangkan melalui pendidikan bukan saja otak, melainkan yang lebih penting adalah hati. Sumber gerak atau aktifitas seseorang bukan terletak pada otak, melainkan pada ruh yang ada di dalam hati. Seringkali, sumber kekuatan itu disebut �aku�. Aku yang letaknya di dalam hati itu adalah pemilik semua anggota tubuh seseorang. Itulah sebabnya, telinganya disebut sebagai telinga-�Ku�, kupingnya disebut sebagai kuping-�Ku�, matanya disebut sebagai mata-�Ku�, mulutnya sebagai mulut-�ku�, otaknya disebut sebagai otak-�ku�, dan seterusnya. Pemilik tubuh secara keseluruhan itu sebenarnya adalah ruh atau disebut �aku� itu. Maka pemilik tubuh itulah sebenarnya yang seharusnya dididik.
Hal yang perlu disadari bahwa mata, telinga, mulut, otak, dan lain-lain akan menjalankan fungsinya manakala digerakkan oleh akunya, ruh, atau pemiliknya sendiri. Telinga bisa mendengar jika ada kekuatan yaitu aku atau ruh untuk menggerakkannya, mata bisa melihat oleh karena ada kekuatan untuk menggerakkannya pula, otak bisa berpikir oleh karena ada kekuatan aku atau ruh yang menghendaki agar piranti itu bergerak. Demikian pula seterusnya terhadap anggota badan lainnya. Di dalam hadits nabi diterangkan bahwa pada tubuh manusia ada bagian yang menjadi penentu. Manakala bagian itu baik, maka semuanya akan baik, dan begitu pula sebaliknya, manakala bagian itu jelek, maka perilaku manusia itu juga akan jelek. Bagian tubuh manusia yang dimaksud adalah disebut qolb. Sedangkan di dalam qolb itu terdapat ruh.
Persaoalannya adalah bahwa pada bagian tubuh manusia dimaksud, yaitu qalb, terdapat penyakit. Sepanjang penyakit itu belum hilang, maka manusia akan melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu yang seharusnya dilakukan adalah menyehatkan dan bahkan menghidupkan qalb dimaksud. Jika kegiatan pendidikan itu diharapkan manusia menjadi baik, maka golb atau hati itulah yang seharusnya dididik. Sedangkan mendidik hati adalah dengan cara atau pendekatan khas, yaitu selalu kontak atau berkomunikasi dengan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang banyak mengingat dan atau berdzikir maka dengan sendirinya akan menjadi terdidik, dan insya Allah akan menjadi baik.
Dengan maksud agar anak menjadi cerdas dan baik, sehari-hari diajari biologi, fisika, kimia, matematika, psikologi, bahasa dan sastra, sosiologi, dan lain-lain. Sebenarnya usaha itu akan berhasil atau memberi manfaat manakala berbagai pelajaran itu juga diorientasikan untuk mengenal kehidupan ini secara utuh, yaitu mengenal dirinya, alam sekitarnya, dan juga Tuhannya. Sebaliknya, bukan sekedar untuk mempersiapkan ujian akhir, yaitu agar lulus. Buah dari mengenal dirinya sendiri, alam, dan Tuhan akan melahirkan kesadaran tentang betapa pentingnya kehiduan ini harus dijaga sebaik-baiknya. Menjaga kehidupan agar selamat, maka siapapun harus selalu ingat pada posisinya sebagai makhluk atau berdzikir dan shalat. Berdzikir dan shalat adalah media berhubungan, kontak, dan berkomunikasi dengan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang demikian itu, perilakunya akan terjaga dan menjadi semakin baik. Itulah orientasi pendidikan yang seharusnya dijalankan. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com #sthash.iKpXsOKV.dpuf
Anak baik dan pintar akhirnya menjadi mahal harganya. Semua orang berkeinginan meraihnya. Namun keinginan itu juga tidak mudah dicapai. Lembaga pendidikan yang gedungnya bagus, lingkungannya terawat, peralatannya serba tercukupi, gurunya juga berwawasan luas dan profesional, ternyata juga tidak selalu menghasilkan lulusan yang diinginkan. Menyangkut pendidikan ternyata tidak mudah dipahami. Hukum pendidikan tidak selalu linier. Sekolah sederhana bisa menghasilkan lulusan yang baik, tetapi juga sebaliknya.
Sedemikian tinggi kepercayaan orang pada lembaga pendidikan, sehingga sekolah yang dikenal baik, unggul dan memiliki kelebihan diperebutkan. Mereka berkeinginan agar anaknya menjadi baik dan cerdas. Namun ukuran cerdas, sebenarnya juga sederhana, yaitu mampu menjawab soal-soal pada saat mengikuti ujian. Manakala seseorang berhasil menjawab pertanyaan, maka dianggapnya pintar dan pasti lulus. Ukuran sukses dan sederhana itu menjadikan banyak orang menyuruh anaknya berlatih menjawab soal, dan bahkan berani nekat, menjelang ujian, mencari kunci jawaban.
Rupanya kebanyakan orang lupa bahwa hidup sukses tidak selalu tekait dengan nilai ujian di sekolah. Anak yang nilainya pas-pasan ternyata dalam kehidupannya berhasil melampaui anak-anak yang berprestasi unggul. Kemampuan menjawab soal-soal ujian di sekolah tidak selalu sama dengan mengerjakan soal-soal kehidupan di tengah masyarakat. Gambaran tersebut mengingatkan tentang betapa pentingnya memahami konsep kedewasaan, yaitu adanya kedewasaan spiritual, kedewasaan social, dan kedewasaan intelektual dan lain-lain. Semua jenis kedewasaan dimaksud seharusnya diraih, sekalipun hal itu tidak mudah.
Seseorang tidak cukup hanya cerdas atau dewasa dari aspek intelektualnya, tetapi kekuatan itu harus disempurnakan dengan kekuatan lainnya. Seseorang yang pintar, dan akalnya kuat, tanpa disempurnakan oleh kekuatan spiritual dan sosialnya, maka akan sangat mungkin kerjanya memintari atau mengakali orang lain. Banyak orang yang dikenal cerdas dan atau berakal tetapi kerjanya hanya akal-akalan atau mengakali banyak orang. Orang yang demikian itu jika menjadi pejabat atau pemimpin justru akan merusak keadaan dan merugikan banyak orang.
Mendasarkan pada konsep kedewasaan sebagaimana dikemukakan di muka, seharusnya yang dikembangkan melalui pendidikan bukan saja otak, melainkan yang lebih penting adalah hati. Sumber gerak atau aktifitas seseorang bukan terletak pada otak, melainkan pada ruh yang ada di dalam hati. Seringkali, sumber kekuatan itu disebut �aku�. Aku yang letaknya di dalam hati itu adalah pemilik semua anggota tubuh seseorang. Itulah sebabnya, telinganya disebut sebagai telinga-�Ku�, kupingnya disebut sebagai kuping-�Ku�, matanya disebut sebagai mata-�Ku�, mulutnya sebagai mulut-�ku�, otaknya disebut sebagai otak-�ku�, dan seterusnya. Pemilik tubuh secara keseluruhan itu sebenarnya adalah ruh atau disebut �aku� itu. Maka pemilik tubuh itulah sebenarnya yang seharusnya dididik.
Hal yang perlu disadari bahwa mata, telinga, mulut, otak, dan lain-lain akan menjalankan fungsinya manakala digerakkan oleh akunya, ruh, atau pemiliknya sendiri. Telinga bisa mendengar jika ada kekuatan yaitu aku atau ruh untuk menggerakkannya, mata bisa melihat oleh karena ada kekuatan untuk menggerakkannya pula, otak bisa berpikir oleh karena ada kekuatan aku atau ruh yang menghendaki agar piranti itu bergerak. Demikian pula seterusnya terhadap anggota badan lainnya. Di dalam hadits nabi diterangkan bahwa pada tubuh manusia ada bagian yang menjadi penentu. Manakala bagian itu baik, maka semuanya akan baik, dan begitu pula sebaliknya, manakala bagian itu jelek, maka perilaku manusia itu juga akan jelek. Bagian tubuh manusia yang dimaksud adalah disebut qolb. Sedangkan di dalam qolb itu terdapat ruh.
Persaoalannya adalah bahwa pada bagian tubuh manusia dimaksud, yaitu qalb, terdapat penyakit. Sepanjang penyakit itu belum hilang, maka manusia akan melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu yang seharusnya dilakukan adalah menyehatkan dan bahkan menghidupkan qalb dimaksud. Jika kegiatan pendidikan itu diharapkan manusia menjadi baik, maka golb atau hati itulah yang seharusnya dididik. Sedangkan mendidik hati adalah dengan cara atau pendekatan khas, yaitu selalu kontak atau berkomunikasi dengan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang banyak mengingat dan atau berdzikir maka dengan sendirinya akan menjadi terdidik, dan insya Allah akan menjadi baik.
Dengan maksud agar anak menjadi cerdas dan baik, sehari-hari diajari biologi, fisika, kimia, matematika, psikologi, bahasa dan sastra, sosiologi, dan lain-lain. Sebenarnya usaha itu akan berhasil atau memberi manfaat manakala berbagai pelajaran itu juga diorientasikan untuk mengenal kehidupan ini secara utuh, yaitu mengenal dirinya, alam sekitarnya, dan juga Tuhannya. Sebaliknya, bukan sekedar untuk mempersiapkan ujian akhir, yaitu agar lulus. Buah dari mengenal dirinya sendiri, alam, dan Tuhan akan melahirkan kesadaran tentang betapa pentingnya kehiduan ini harus dijaga sebaik-baiknya. Menjaga kehidupan agar selamat, maka siapapun harus selalu ingat pada posisinya sebagai makhluk atau berdzikir dan shalat. Berdzikir dan shalat adalah media berhubungan, kontak, dan berkomunikasi dengan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang demikian itu, perilakunya akan terjaga dan menjadi semakin baik. Itulah orientasi pendidikan yang seharusnya dijalankan. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com #sthash.iKpXsOKV.dpuf