Setiap orang Islam berkewajiban berdakwah, yaitu mengajak berbuat baik dan menjauhkan siapapun dari perbuatan buruk. Sampaikan olehmu sekalipun hanya satu ayat, demikian kata Nabi. Kebaikan adalah milik semua orang, demikian pula Islam. Agama Islam diturunkan oleh Allah bukan hanya untuk bangsa Arab, atau bangsa Afrika, tetapi juga untuk semuanya. Yaitu untuk orang Eropa, Amerika, Kanada, Rusia, Australia, Asia, dan lain-lain.
Proses penyebaran Islam, sekalipun sudah berjalan hingga 15 abad, ternyata belum selesai. Sampai sekarang, masih banyak bangsa yang belum mengenalnya. Jika ada pihak-pihakyang memusuhi Islam, bukan oleh karena Islam itu jelek, tetapi hanya karena mereka belum mengenal atau mendalami tentang ajaran Islam yang sebenarnya. Bahkan, mereka mendapatkan kesan bahwa Islam itu rendah, atau ajaran yang tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan yang rasional atau modern, hanya karena mereka menangkap atau memahami Islam dari perilaku sementara orang Islam sendiri.
Banyak orang tidak mengerti tentang Islam, oleh karena mereka dilahirkan di negara atau masyarakat bukan pemeluk Islam. Sejak kecil mereka tumbuh dari lingkungan masing-masing yang tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai atau budaya Islam. Dengan demikian bagi mereka, Islam itu asing dan bahkan bisa jadi dianggap negatif. Jika demikian itu keadaannya, maka betapa berat mereka memahami Islam. Apalagi, dalam sejarah pertiumbuhan hidupnya, mereka tidak mengenal dan bahkan juga sebaliknya memperoleh gambaran yang tidak tepat tentang apa yang disebut Islam itu. Maka bisa dimengerti, jika saja mereka menganggap bahwa Islam adalah ajaran yang tidak menarik dan bahkan harus dijauhi.
Menghadapi kenyataan tersebut, maka berdakwah menjadi tidak mudah. Kebenaran Islam dipandang sebagai sesuatu yang justru salah. Konsep tentang kelembutan, kesejukan, kedamaian, kesalehan, dan keselamatan yang ditawarkan oleh Islam menjadi tidak mudah diterima. Apalagi, sehari-hari mereka mendengarkan informasi tentang kekerasan, terorisme, perang, dan semacamnya, adalah dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam. Tentu, akibatnya, berdakwah di tengah-tengah masyarakat seperti digambarkan tersebut benar-benar bukan pekerjaan mudah. Kesulitan itu, masih ditambah lagi dengan sifat masyarakat demokrasi yang memiliki ciri kebebasan, keterbukaan, kesetaraan, dan sejenisnya.
Pada zaman pemerintahan Pak Harto, antara ulama� atau tokoh Islam, pejabat birokrasi, dan bahkan juga ABRI disatukan di dalam organisasi buatan pemerintah yaitu Golkar. Sebagai upaya membangun dan menjaga komunikasi antara beberapa kekuatan yang ada, maka ditumbuhkan semangat kebersamaan, tidak terkecuali kebersamaan di dalam menjalankan agama. Banyak kalangan birokrasi dan juga tentara, yang semula tidak mengenal agama, melalui kegiatan dalam wadah Golkar itu, diselenggarakan tarweh keliling, sema�an al Qur�an, berbuka bersama, dan juga haji atau umrah, dan lain-lain, sehingga berbagai kekuatan tersebut menyatu atau setidaknya menjadi mendekat.
Seorang pejabat birokrasi pemerintah misalnya, sekalipun semula tidak mengerti Islam, oleh karena ada kegiatan haji atau umrah yang diselenggarakan oleh Golkar, maka mereka ikut haji atau umrah. Bisa jadi, semula haji atau umrahnya hanya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan politik, yakni agar dekat dengan ulama atau tokoh Islam, tetapi oleh karena apa yang dilakukan tersebut mendapatkan apresiasi dari masyarakat, maka mereka akhirnya berusaha menyesuaikan dengan penghargaan itu. Demikkian pula dalam kegiatan tarweh keliling, berbuka bersama, sema�an al Qur�an, dan seterusnya.
Kedekatan antara ulama atau tokoh Islam dengan birokrasi pemerintah, maka membuahkan budaya, yaitu masuknya identitas atau simbol-simbol santri, misalnya berbaju koko, berkopyah, dan semacamnya, ke berbagai kalangan termasuk ke para pejabat birokrasi, tentara, polisi, dan bahkan juga ke berbagai jenis lembaga, tidak terkecuali pendidikan. Sebagai masyarakat paternalistik, yang salah satu cirinya adalah meniru, maka ketika Pak Harto dan Ibu Tien naik haji, maka para Menteri, Anggota DPR, Gubernur, Wali kota, Bupati, para Rektor, hingga pejabat terendah ikut menunaikan ibadah haji. Ciri masyarakat paternalistik, bahwa apa yang dilakukan oleh atasan, orang penting, elite, atau dianggap panutannya, adalah yang dicontoh.
Akhirnya, melalui proses sebagaimana digambarkan tersebut, Islam menjadi sumber nilai-nilai yang dipandang penting untuk dikembangkan di tengah-tengah masyarakat, dan bahkan juga menjadi budaya. Tatkala menjadi muslim atau menjadi santri dengan mengenakan baju taqwa, sarung, berpeci, dan datang ke masjid untuk menjalankan shalat Id, atau peringatan hari besar Islam maka siapapun dipandang terhormat. Sebagai akibatnya, Islam yang semula dikesankan sebagai identitas masyarakat tertinggal, akhirnya menjadi berbalik, yaitu sebagai budaya tinggi oleh karena dijalankan oleh orang-orang yang memiliki nama, identitas tinggi, dan atau dikenal sebagai orang berpengaruh.
Namun sayang, apa yang terbangun hingga menjadikan Islam sebagai milik semua lapisan tersebut ternyata tidak sepenuhnya berkelanjutan. Terasakan walaupun tidak mudah dibuktikan, seolah-olah Islam akan kembali meminggir, atau tidak lagi berada pada pusaran atau kekuatan penentu gerak kehidupan masyarakat. Manakala gambaran itu yang terjadi, maka dakwah akan kembali semakin berat ditunaikan. Belajar dari zaman Pak Harto, agar berhasil, rupanya dakwah memang harus dilakukan dengan cara mendekat dan bahkan menyatu dengan sasaran dakwah itu sendiri. Wallahu a�lam
Proses penyebaran Islam, sekalipun sudah berjalan hingga 15 abad, ternyata belum selesai. Sampai sekarang, masih banyak bangsa yang belum mengenalnya. Jika ada pihak-pihakyang memusuhi Islam, bukan oleh karena Islam itu jelek, tetapi hanya karena mereka belum mengenal atau mendalami tentang ajaran Islam yang sebenarnya. Bahkan, mereka mendapatkan kesan bahwa Islam itu rendah, atau ajaran yang tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan yang rasional atau modern, hanya karena mereka menangkap atau memahami Islam dari perilaku sementara orang Islam sendiri.
Banyak orang tidak mengerti tentang Islam, oleh karena mereka dilahirkan di negara atau masyarakat bukan pemeluk Islam. Sejak kecil mereka tumbuh dari lingkungan masing-masing yang tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai atau budaya Islam. Dengan demikian bagi mereka, Islam itu asing dan bahkan bisa jadi dianggap negatif. Jika demikian itu keadaannya, maka betapa berat mereka memahami Islam. Apalagi, dalam sejarah pertiumbuhan hidupnya, mereka tidak mengenal dan bahkan juga sebaliknya memperoleh gambaran yang tidak tepat tentang apa yang disebut Islam itu. Maka bisa dimengerti, jika saja mereka menganggap bahwa Islam adalah ajaran yang tidak menarik dan bahkan harus dijauhi.
Menghadapi kenyataan tersebut, maka berdakwah menjadi tidak mudah. Kebenaran Islam dipandang sebagai sesuatu yang justru salah. Konsep tentang kelembutan, kesejukan, kedamaian, kesalehan, dan keselamatan yang ditawarkan oleh Islam menjadi tidak mudah diterima. Apalagi, sehari-hari mereka mendengarkan informasi tentang kekerasan, terorisme, perang, dan semacamnya, adalah dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam. Tentu, akibatnya, berdakwah di tengah-tengah masyarakat seperti digambarkan tersebut benar-benar bukan pekerjaan mudah. Kesulitan itu, masih ditambah lagi dengan sifat masyarakat demokrasi yang memiliki ciri kebebasan, keterbukaan, kesetaraan, dan sejenisnya.
Pada zaman pemerintahan Pak Harto, antara ulama� atau tokoh Islam, pejabat birokrasi, dan bahkan juga ABRI disatukan di dalam organisasi buatan pemerintah yaitu Golkar. Sebagai upaya membangun dan menjaga komunikasi antara beberapa kekuatan yang ada, maka ditumbuhkan semangat kebersamaan, tidak terkecuali kebersamaan di dalam menjalankan agama. Banyak kalangan birokrasi dan juga tentara, yang semula tidak mengenal agama, melalui kegiatan dalam wadah Golkar itu, diselenggarakan tarweh keliling, sema�an al Qur�an, berbuka bersama, dan juga haji atau umrah, dan lain-lain, sehingga berbagai kekuatan tersebut menyatu atau setidaknya menjadi mendekat.
Seorang pejabat birokrasi pemerintah misalnya, sekalipun semula tidak mengerti Islam, oleh karena ada kegiatan haji atau umrah yang diselenggarakan oleh Golkar, maka mereka ikut haji atau umrah. Bisa jadi, semula haji atau umrahnya hanya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan politik, yakni agar dekat dengan ulama atau tokoh Islam, tetapi oleh karena apa yang dilakukan tersebut mendapatkan apresiasi dari masyarakat, maka mereka akhirnya berusaha menyesuaikan dengan penghargaan itu. Demikkian pula dalam kegiatan tarweh keliling, berbuka bersama, sema�an al Qur�an, dan seterusnya.
Kedekatan antara ulama atau tokoh Islam dengan birokrasi pemerintah, maka membuahkan budaya, yaitu masuknya identitas atau simbol-simbol santri, misalnya berbaju koko, berkopyah, dan semacamnya, ke berbagai kalangan termasuk ke para pejabat birokrasi, tentara, polisi, dan bahkan juga ke berbagai jenis lembaga, tidak terkecuali pendidikan. Sebagai masyarakat paternalistik, yang salah satu cirinya adalah meniru, maka ketika Pak Harto dan Ibu Tien naik haji, maka para Menteri, Anggota DPR, Gubernur, Wali kota, Bupati, para Rektor, hingga pejabat terendah ikut menunaikan ibadah haji. Ciri masyarakat paternalistik, bahwa apa yang dilakukan oleh atasan, orang penting, elite, atau dianggap panutannya, adalah yang dicontoh.
Akhirnya, melalui proses sebagaimana digambarkan tersebut, Islam menjadi sumber nilai-nilai yang dipandang penting untuk dikembangkan di tengah-tengah masyarakat, dan bahkan juga menjadi budaya. Tatkala menjadi muslim atau menjadi santri dengan mengenakan baju taqwa, sarung, berpeci, dan datang ke masjid untuk menjalankan shalat Id, atau peringatan hari besar Islam maka siapapun dipandang terhormat. Sebagai akibatnya, Islam yang semula dikesankan sebagai identitas masyarakat tertinggal, akhirnya menjadi berbalik, yaitu sebagai budaya tinggi oleh karena dijalankan oleh orang-orang yang memiliki nama, identitas tinggi, dan atau dikenal sebagai orang berpengaruh.
Namun sayang, apa yang terbangun hingga menjadikan Islam sebagai milik semua lapisan tersebut ternyata tidak sepenuhnya berkelanjutan. Terasakan walaupun tidak mudah dibuktikan, seolah-olah Islam akan kembali meminggir, atau tidak lagi berada pada pusaran atau kekuatan penentu gerak kehidupan masyarakat. Manakala gambaran itu yang terjadi, maka dakwah akan kembali semakin berat ditunaikan. Belajar dari zaman Pak Harto, agar berhasil, rupanya dakwah memang harus dilakukan dengan cara mendekat dan bahkan menyatu dengan sasaran dakwah itu sendiri. Wallahu a�lam
sumber ; imamsuprayogo.com