Jika ada sebutan orang beruntung, maka saya termasuk kelompok itu.
Sekalipun haji atau umrah itu tidak mudah, saya berkali-kali mendapatkan
undangan sebagai hadiah. Akhir bulan Ramdhan ini, saya mendapatkan
hadiah umrah lagi, yaitu undangan dari pemerintah Saudi Arabia,
bersama-sama 9 orang lainnya. Padahal enam bulan lalu, sebenarnya juga
sudah mendapatkan hadiah haji kecil, tetapi ternyata bulan Ramdhan ini
juga mendapatkan lagi. Biasanya, ketika memperoleh undangan seperti
itu, saya lebih suka mewakilkan kepada siapa saja yang belum pernah
menjalankannya, tetapi tidak semua undangan bisa diwakilkan, melainkan
harus dipenuhi sendiri.
Dari waktu ke waktu, jumlah jama�ah umrah ternyata semakin banyak. Secara gampang saja, kita melihat, di setiap bandara internasional, sehari-hari pasti ada kelompok orang berseragam khas, yang sangat mudah diduga akan berangkat umrah. Begitu pula, bersama keberangkatan saya umrah di akhir Bulan Ramdhan ini, hampir seisi pesawat dipenuhi oleh jama�ah umrah. Rupanya, jama�ah dimaksud berasal dari wilayah atau agen yang berbeda-beda. Laki-laki dan perempuan, tua dan atau muda, tidak ada beda semangatnya untuk beribadah, memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya ini.
Perjalan umrah di Bulan Ramadhan, tentu lebih berat. Ketika berangkat dari Indonesia menuju Makkah, waktu puasa pasti menambah sekitar 4 jam. Seperti yang saya alami, yakni pada hari Kamis, tanggal 23 Juni, berangkat dari Bandara Sukarno Hatta jam 13.00, sampai di Jeddah, Bandara King Abdul Aziz, masih jam 5 sore. Berarti untuk berbuka puasa masih harus nunggu satu jam lagi. Padahal penumpang yang sedang berpuasa, sejak menjelang subuh sudah menahan makan dan minum selama 17 jam. Rupanya, di perjalanan tidak ada perasaan berat dalam menjalankan puasa. Para jama�ah umrah di dalam pesawat tidak kelihatan yang menggunakan rukhsoh, membatalkan puasanya di dalam perjalanan.
Semangat beribadah dalam berumrah juga tampak dari kekuatan fisik para jama�ah. Sekalipun telah melakukan perjalanan panjang dalam keadaan puasa, setiba di Makkah, mereka juga langsung berumrah. Padahal, rangkaian ibadah itu memerlukan waktu lama dan tentu cukup berat, apalagi pada Bulan Ramadhan. Jumlah jama�ah yang meningkat juga menjadikan waktu pelaksanaannya semakin lama. Mereka harus berbagi fasilitas yang terbatas, baik pada waktu thawaf ataupun juga sa�i. Bahkan mereka harus berdesak-desak, sehingga waktu yang semestinya bisa dijalani dua atau tiga jam, menjadi lebih dari itu.
Bisa dibayangkan, secara fisik, betapa beratnya ibadah itu. Setelah dalam perjalanan di pesawat begitu lama, yaitu dari tanah air hingga sampai di Jeddah, masih ditambah pelaksanaan ibadah yang memerlukan waktu lama dan tidak mudah dilaksanakan, karena suasana padatnya orang itu. Akan tetapi, mereka tidak mengeluh, dan sebaliknya menjalankannya dengan gembira. Maka ternyata kekuatan mental atau kesungguhan bisa menghilangkan rasa capek dan atau lelah. Umpama tidak memiliki niat yang sunguh-sungguh dalam ibadah itu, pasti mereka merasa berat. Maka, suasana batin, niat, atau mental ternyata sangat berpengaruh dalam menjalankan apa saja, tidak terkecuali umrah yang sebenarnya juga tidak ringan itu.
Kegembiraan juga menjadikan mereka ringan dalam menjalani ibadah lainnya seperti shalat berjama�ah, membaca al Qur�an maupun shalat tarweh. Sehari-hari ketika sedang di tanah suci, para jama�ah umrah biasanya juga selalu datang ke masjid pada setiap waktu shalat lima waktu. Kegiatan itu juga dilaksanakan dengan ringan. Hal tersebut terlihat pada setiap saat mereka mengikuti shalat berjama�ah. Bahkan, sekalipun ketika di Masjidil Haram, shalat taweh dilaksanakan sebanyak 20 raka�at, dan imamnya selalu membaca atau memilih surat yang panjang-panjang, tetapi ternyata juga diikuti dengan baik. Mereka tidak berdebat tentang jumlah raka�at shalat tarweh. Umpama saja setelah pulang dari umrah di Bulan Ramadhan, perbedaan yang melahirkan jarak itu tidak diperpanjang, maka umat Islam akan bersatu, sebagaimana tampak ketika sedang berada di Masjidil Haram di Makkah dan juga di Masjid Nabawi di Madinah.
Mengikuti kegiatan spiritual terkait dengan haji atau umrah, saya selalu mendapatkan pelajaran penting. Bahwa, setiap orang ternyata membutuhkan pengayaan batin. Sekalipun berat, ibadah umrah dan haji, orang mau menjalankannya. Beban itu, terkait dengan tenaga, pikiran, perasaan, maupun bagi orang tertentu, mungkin juga terkait pendanaannya. Selain itu, saya selalu melihat bahwa toleransi dalam kegiatan ritual, ketika sedang di tanah suci, ternyata sedemikian tinggi. Mereka tidak lagi mempersoalkan perbedaan pelaksanaan ibadah yang bersifat cabang atau furu�, misalnya antara harus membaca qunut atau tidak, adzan satu atau dua di dalam shalat jum�ah, membaca wiridan bersama-sama setiap selesai shalat atau tidak, dan seterusnya. Semua perbedaan itu tidak dipersoalkan. Maka, saya selalu berkesimpulan, sebenarnya ummat Islam tidak akan sulit bersatu jika para elitenya sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh mempeloporinya. Wallahu a�lam
Dari waktu ke waktu, jumlah jama�ah umrah ternyata semakin banyak. Secara gampang saja, kita melihat, di setiap bandara internasional, sehari-hari pasti ada kelompok orang berseragam khas, yang sangat mudah diduga akan berangkat umrah. Begitu pula, bersama keberangkatan saya umrah di akhir Bulan Ramdhan ini, hampir seisi pesawat dipenuhi oleh jama�ah umrah. Rupanya, jama�ah dimaksud berasal dari wilayah atau agen yang berbeda-beda. Laki-laki dan perempuan, tua dan atau muda, tidak ada beda semangatnya untuk beribadah, memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya ini.
Perjalan umrah di Bulan Ramadhan, tentu lebih berat. Ketika berangkat dari Indonesia menuju Makkah, waktu puasa pasti menambah sekitar 4 jam. Seperti yang saya alami, yakni pada hari Kamis, tanggal 23 Juni, berangkat dari Bandara Sukarno Hatta jam 13.00, sampai di Jeddah, Bandara King Abdul Aziz, masih jam 5 sore. Berarti untuk berbuka puasa masih harus nunggu satu jam lagi. Padahal penumpang yang sedang berpuasa, sejak menjelang subuh sudah menahan makan dan minum selama 17 jam. Rupanya, di perjalanan tidak ada perasaan berat dalam menjalankan puasa. Para jama�ah umrah di dalam pesawat tidak kelihatan yang menggunakan rukhsoh, membatalkan puasanya di dalam perjalanan.
Semangat beribadah dalam berumrah juga tampak dari kekuatan fisik para jama�ah. Sekalipun telah melakukan perjalanan panjang dalam keadaan puasa, setiba di Makkah, mereka juga langsung berumrah. Padahal, rangkaian ibadah itu memerlukan waktu lama dan tentu cukup berat, apalagi pada Bulan Ramadhan. Jumlah jama�ah yang meningkat juga menjadikan waktu pelaksanaannya semakin lama. Mereka harus berbagi fasilitas yang terbatas, baik pada waktu thawaf ataupun juga sa�i. Bahkan mereka harus berdesak-desak, sehingga waktu yang semestinya bisa dijalani dua atau tiga jam, menjadi lebih dari itu.
Bisa dibayangkan, secara fisik, betapa beratnya ibadah itu. Setelah dalam perjalanan di pesawat begitu lama, yaitu dari tanah air hingga sampai di Jeddah, masih ditambah pelaksanaan ibadah yang memerlukan waktu lama dan tidak mudah dilaksanakan, karena suasana padatnya orang itu. Akan tetapi, mereka tidak mengeluh, dan sebaliknya menjalankannya dengan gembira. Maka ternyata kekuatan mental atau kesungguhan bisa menghilangkan rasa capek dan atau lelah. Umpama tidak memiliki niat yang sunguh-sungguh dalam ibadah itu, pasti mereka merasa berat. Maka, suasana batin, niat, atau mental ternyata sangat berpengaruh dalam menjalankan apa saja, tidak terkecuali umrah yang sebenarnya juga tidak ringan itu.
Kegembiraan juga menjadikan mereka ringan dalam menjalani ibadah lainnya seperti shalat berjama�ah, membaca al Qur�an maupun shalat tarweh. Sehari-hari ketika sedang di tanah suci, para jama�ah umrah biasanya juga selalu datang ke masjid pada setiap waktu shalat lima waktu. Kegiatan itu juga dilaksanakan dengan ringan. Hal tersebut terlihat pada setiap saat mereka mengikuti shalat berjama�ah. Bahkan, sekalipun ketika di Masjidil Haram, shalat taweh dilaksanakan sebanyak 20 raka�at, dan imamnya selalu membaca atau memilih surat yang panjang-panjang, tetapi ternyata juga diikuti dengan baik. Mereka tidak berdebat tentang jumlah raka�at shalat tarweh. Umpama saja setelah pulang dari umrah di Bulan Ramadhan, perbedaan yang melahirkan jarak itu tidak diperpanjang, maka umat Islam akan bersatu, sebagaimana tampak ketika sedang berada di Masjidil Haram di Makkah dan juga di Masjid Nabawi di Madinah.
Mengikuti kegiatan spiritual terkait dengan haji atau umrah, saya selalu mendapatkan pelajaran penting. Bahwa, setiap orang ternyata membutuhkan pengayaan batin. Sekalipun berat, ibadah umrah dan haji, orang mau menjalankannya. Beban itu, terkait dengan tenaga, pikiran, perasaan, maupun bagi orang tertentu, mungkin juga terkait pendanaannya. Selain itu, saya selalu melihat bahwa toleransi dalam kegiatan ritual, ketika sedang di tanah suci, ternyata sedemikian tinggi. Mereka tidak lagi mempersoalkan perbedaan pelaksanaan ibadah yang bersifat cabang atau furu�, misalnya antara harus membaca qunut atau tidak, adzan satu atau dua di dalam shalat jum�ah, membaca wiridan bersama-sama setiap selesai shalat atau tidak, dan seterusnya. Semua perbedaan itu tidak dipersoalkan. Maka, saya selalu berkesimpulan, sebenarnya ummat Islam tidak akan sulit bersatu jika para elitenya sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh mempeloporinya. Wallahu a�lam
sumber ; imamsuprayogo.com