Kondisi kediaman Slamet Supu. Foto: Akhirman.Kendari Pos
DARI belasan rumah yang ada di gang di Jalan Sipangjonga Kelurahan Tanganapada Kecamatan Betoambari, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara tampak sebuah gubuk tua berukuran 4 x 6 meter. Lokasi rumah berada di belakang pertokoan, yang menjadi kawasan rawan kumuh pada daerah perkotaan.Di sanalah..Slamet Supu Yusuf (71) tinggal bersama istri dan empat anaknya. Slamet sudah lima tahun tinggal dan menjalani hidup di gubuk reyot bersama keluarganya. Dia orang pertama yang tinggal di lorong itu.
Slamet merupakan purnawirawan Polri yang pensiun tahun 1996 dengan pangkat kopral kepala. Tanda kepangkatan di Polri saat ini, kopral kepala sama dengan ajun brigadir polisi (Abrip) atau Bhayangkara Utama I. Slamet Supu tak pernah membayangkan jika masa tuanya harus dilalui dengan tinggal di sebuah gubuk tua pada tanah milik orang lain.
Anehnya, Polres Baubau pernah menawarkan bantuan tanah dan pembangunan rumah tapi ditolak oleh pria yang memiliki sembilan anak ini. Cukup miris. Hidup Slamet Supu berada di bawah garis kemiskinan. Kondisinya sangat memprihatinkan. Tempat tinggalnya sangat tidak layak.
Gubuk yang ditempatinya adalah bekas kandang ayam yang dia bersihkan. Slamet membangun rumah dengan bahan seadanya. Menggunakan kayu bekas sebagai tiangnya. Itu pun sudah mulai digerogoti rayap.
Dinding rumahnya menggunakan tripleks dan papan bekas. Sudah mulai lapuk. Atapnya menggunakan potongan-potongan seng dan genteng bekas. Bila hujan turun, genangan air dalam rumah tidak bisa terhindarkan. Tetesan air hujan mengalir di sela atap karena sudutnya tidak beraturan. Begitu pula sebaliknya, rasa panas tidak bisa terelakkan ketika musim kemarau datang. Karena jarak atap dan lantai hanya berkisar dua meter.
"Seperti inilah kondisi saya. Tinggal bersama istri dan empat orang anak di gubuk tua. Bila hujan datang maka, rumah kami bocor dan digenangi air. Di musim kemarau, panasya seperti sedang "dimasak". Tapi, saya tetap bersyukur karena, setidaknya masih ada tempat untuk tinggal," kata Slamet Supu kepada Kendari Pos saat meyambangi kediamananya, Sabtu (23/7).
Perabotan dalam rumah juga seadanya. Tidak ada televisi dan peralatan elektronik lainnya. Yang tampak hanyalah beberapa buah piring makan, gelas, panci dan termos. Ruangannya juga begitu sempit. Hanya ada ruangan depan dan tempat tidur. Dapurnya berada di luar rumah. "Istri saya memasak menggunakan kayu bakar. Soalnya di dalam rumah sudah tidak muat lagi," ucapnya.
Slamet Supu mengaku, penyebab dirinya terjebak dalam kemiskinan karena semasa menjadi anggota Polri tidak memikirkan kehidupan di masa tuanya. Selain karena berpindah-pindah tugas, dia juga terbuai oleh keadaan. Sebab, dimana pun dia menjalankan tugas, maka rumah dinas selalu disiapkan.
"Saya bergabung di Polri sejak tahun 1963 dengan penempatan tugas Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat (dulu masih Sulsel). Selama 17 tahun di Mamuju saya memutuskan untuk pindah ke kampung yaitu di Buton karena, orang tua saya mulai sakit-sakitan. Selama di sini (Baubau) saya berpindah-pindah tugas. Hingga pernah menjadi komandan regu di Polres Baubau selama 15 tahun. Di usia 48 tahun, saya pensiun tepatnya 1996 dengan pangkat Kopral Kepala. Sejak pensiun itu saya tidak punya rumah, karena saya pikir masih tinggal di asrama. Di benak saya tidak terlintas untuk membangun rumah untuk kehidupan di masa tua," paparnya.
Dia mengklaim, dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota Polri, selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Tidak pernah mempersulit atau melakukan pemerasan pada rakyat. Semua itu sudah menjadi pendiriannya sesuai amanah kakek dan ayahnya. "Makan uang rakyat itu haram. Itulah pesan kakek dan ayah saya," ujarnya.
Selain itu, selama menjalani tugasnya sebagai anggota Polri, Slamet Supu hanya fokus pada tugasnya sebagai abdi negara. Saat pensiun, dia tidak lagi memiliki pekerjaan untuk menambah penghasilan selain mengharapkan gaji pensiuan. Padahal, dia memiliki banyak anak yang terus bertambah dewasa dan semakin membutuhkan biaya hidup banyak.
Sehingga, pada akhirnya, keadaan memaksanya untuk menggadai gaji pensiuan karena dua anak laki-lakinya membutuhkan uang banyak untuk menikah. "Namanya anak laki-laki, saat menikah pasti membutuhlan banyak uang dan itu tanggung jawab saya selaku orang tua. Makanya saya mengambil uang di bank Rp 100 juta dengan jaminan gaji pensiun saya dipotong Rp 1,9 juta per bulan selama 10 tahun. Olehnya itu, dari gaji pensiun saya Rp 2,3 juta perbulan, saya sisa terima Rp 330 ribu," terangnya.
Dari sembilan orang anaknya, lima di antaranya sudah menikah. Sedangkan empat orangnya lagi masih tinggal bersamanya. Dimana dua orang membutuhkan banyak biaya karena masih sementara duduk di bangku SD dan SMP. "Gaji saya saat ini hanya cukup membeli beras 25 kilogram untuk makan dan bertahan hidup selama sebulan. Untuk lauknya, saya memetik daun kelor menjadi sayur. Kadang juga ada tetangga dan orang yang berbaik hati memberikan ikan atau uang untuk beli ikan," katanya.
Kegelisaan semakin berkecamuk pada diri Slamet Supu karena tanah yang ditempati membangun gubuk harus segera dikosongkan. Pemilih lahan telah memberikan warning agar bulan Agustus 2016, Slamet Supu bersama keluargannya segera meninggalkan lahan tersebut. "Saat ini saya mulai bingung mau kemana. Saya tidak punya tanah untuk membangun gubuk lagi," ucapnya sedih. (*/b/akhirman/adk/jpnn)
Sumber : Jpnn.com