Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof. Dr. Imam Suprayogo : Beban Berat Para Pemimpin

Sabtu, 13 Agustus 2016 | 19.47 WIB Last Updated 2016-08-13T12:47:35Z

Banyak orang, di mana dan kapan saja, berkeinginan menjadi pemimpin. Mereka mengira bahwa memimpin orang itu mudah. Mungkin saja keinginan itu didorong oleh semangat memperbaiki keadaan masyarakat, dijadikan lapangan pengabdian, tertarik dengan berbagai fasilitas yang akan diterima, bergengsi, berkuasa, dan lain-lain. Padahal beban dan resiko sebagai seorang pemimpin, jika direnungkan dan dirasakan secara mendalam, bukanlah ringan.

Beban berat tersebut setidaknya bersumber dari sifat-sifat kebanyakan orang yang dipimpinnya. Pertama, manusia itu tidak mudah bersyukur. Diberi apa dan berapa saja merasa kurang. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang dicapai. Mendapatkan satu tahap akan segera mengejar tahap berikutnya. Makhluk yang berakal ini bersifat selalu berkeluh kesah. Manakala mendapatkan kesulitan mengeluh, dan ketika mendapatkan keuntungan juga bakhil. Memimpin banyak orang seperti itu, tentu menjadi tidak mudah.

Kedua, manusia tidak selalu menunjukkan kejelasannya. Bersifat mendua, dan bahkan lebih, adalah ciri manusia. Di permukaan mereka seperti baik, tetapi sebaliknya, pada saat lainnya. Tampak loyal, bersepakat, sehati, dan serupa itu, tetapi di belakang atau di kemudian hari ternyata sangat berlawanan dengan ciri ideal dan menyenangkan itu. Sudah sedemikian kaya tetapi masih mengaku dan merasa miskin. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan selalu mendasarkan pada kepentingannya. Demi meraih keuntungan, mereka sanggup mengorbankan dirinya berlagak lemah dan bahkan bodoh, dan begitu pula sebaliknya.

Ketiga, manusia pandai berubah-ubah, atau tidak selalu konsisten. Pada awalnya memposisikan diri sebagai pendukung fanatik, akan tetapi demi kepentingannya segera berubah menjadi kompetitor dan bahkan juga sebagai musuh. Gambaran demikian itu sangat mudah dilihat pada kegiatan politik dan ekonomi. Semula beberapa orang berkumpul, bersama-sama, dan bersatu, tetapi tidak lama kemudian, mereka berpisah dan bermusuhan. Tatkala tergoda oleh kekuasaan dan ingin meraih harta atau kepemilikan, maka sampai hati menyingkirkan teman seperjuangannya. Berebut kekuasaan, harta, dan fasilitas, seseorang dengan mudah melupakan segalanya, termasuk saudara dan apalagi sekedar teman.

Keempat, manusia tidak mau kalah, tidak mau direndahkan, dilampaui, dan pantang berkekurangan. Sifat-sifat yang demikian itu menjadikan manusia tidak pernah merasa tenang. Umur dan kesempatannya digunakan untuk memenuhi keinginannya itu. Mereka bersedia mengorbankan apa saja dan bahkan harga dirinya demi untuk memperjuangkan keinginannya itu. Agar seseorang menjadi tidak merasa dikalahkan, direndahkan, dan dianggap kurang, maka kadang keselamatan dirinya hingga sampai dikorbankan.

Masih banyak ciri lain yang dimiliiki manusia, akan tetapi dari yang digambarkan tersebut sudah menjadikan para pemimpin kerepotan, menyandang beban berat, dan beresiko yang tidak ringan. Para pemimpin itu sendiri juga manusia, sehingga sudah barang tentu juga memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutrkan di muka. Namun sebenarnya, manusia juga memiliki potensi sifat-sifat mulia yang dapat dikembangkan untuk meringankan beban berat para pemimpin, misalnya bersifat sabar, kasih sayang di antara sesama, dorongan berbuat baik, adil, jujur, dan sejenisnya.

Menghadapi berbagai macam sifat manusia yang tidak mudah dikendalikan dan tidak menguntungkan tersebut, para pemimpin di dalam menunaikan tugasnya biasanya menggunakan berbagai jenis pendekatan, misalnya pendekatan hukum, taktik strategis atau politis, kesejahteraan, dan sejenisnya. Namun sebenarnya semua itu baru menyentuh pada aspek yang bersifat fisik, sehingga hasilnya tidak tuntas dan yang sangat berkemungkinan bersifat semu. Perilaku manusia sebenarnya bersumber atau berawal dari aspek yang tidak tampak, yaitu kekuatan yang berada di dalam hatinya. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan manusia, temasuk di dalamnya adalah kepemimpinan, seharusnya tidak meninggalkan aspek yang disebut tidak tampak itu.

Manakala hati manusia sudah cenderung baik, sehat, dan bersih dari berbagai dorongan hawa nafsu, dunia, dan setan, maka manusia sebenarnya tidak akan sulit dipimpin. Persoalannya adalah bagaimana mengurangi berbagai jenis nafsu dimaksud. Islam memberikan solusi atau jawaban, yaitu agar manusia diajak membersihkan dan mensucikan hatinya, melalui kegiatan banyak mengingat Allah dan shalat secara khusu�. Orang-orang yang melakukan hal itu, maka hatinya akan menjadi sehat dan bersih. Akhirnya, memimpin banyak orang akan berbalik, yaitu dari semula sangat sulit, menjadi mudah. Wallahu a�lam

×
Berita Terbaru Update