Dalam sebuah pertemuan, saya pernah ditanya oleh Menteri Agama, bagaimana agar orang-orang di dalam organisasi dapat dipersatukan. Kebetulan saya menghadap beliau di kantornya dalam posisi saya sebagai Ketua Umum Jam�iyyatul Islamiyah di seluruh Indonesia. Dalam organisasi pada umumnya, sering terjadi konflik, tetapi tidak demikian itu di Jam�iyyatul Islamiyah. Padahal di dalam organisasi tersebut terhimpun orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang, misalnya dari NU, Muhammadiyah, al Wasliyah, Tarbiyah Islamiyah, Nahdlatul Wathan, dan lain-lain. Namun selama ini dalam berbagai kegiatannya tidak pernah terjadi konflik atau silang pendapat.
Dalam Jam�iyyatul Islamiyah tidak pernah terjadi perebutan posisi dalam berorganisasi, misalnya berebut menjadi ketua umum, penasehat, atau posisi penting lainnya. Demikian pula, tidak terjadi saling curiga mencurigai, saling tidak percaya hingga menyangkut persoalan keuangan, fasilitas, dan lain-lain. Apa saja yang dilakukan untuk kegiatan organisasi keagamaan ini disikapi dengan saling percaya dan mempercayai. Ditanamkan pada semua orang yang tergabung pada organisasi ini, bahwa sikap saling mencurigai, sakwasangka, apalagi tidak jujur dan atau tidak amanah adalah perbuatan tercela dan tidak boleh ada pada setiap diri seseorang.
Kegaiatan rutin organisasi Jam�iyyatul Islamiyah adalah secara bersama-sama mengkaji al Qur�an, Hadits Nabi, dan berusaha menjalankannya. Sementara ini, para peminatnya adalah kebanyakan berasal dari kalangan perguruan tinggi, pengusaha, birokrat, dan tidak terkecuali adalah masyarakat pada umumnya. Kegiatan mengkaji al Qur�an dan Hadits Nabi itu dilakukan di masing-masing wilayah yang hingga kini sudah berada di 18 propinsi di seluruh Indonesia, dan juga mulai berkembang, yaitu di Brunai Darussaalam, di Malaysia, dan di Singapura.
Memperoleh penjelasan bahwa di organisasi itu berhasil dikembangkan suasana kebersamaan, persatuan, kedamaian, dan sebaliknya tidak pernah terdengar konflik, dan apalagi menyangkut organisasi, Menteri Agama menanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi. Padahal sebagaimana terjadi umumnya, kajian al Qur�an dan Hadits Nabi yang dilakukan secara bersama selalu memunculkan silang pendapat, tidak menutup kemungkinan membuahkan perselisihan, dan juga perpecahan. Bahkan perpecahan umat Islam di mana-mana hingga melahirkan berbagai madzhab, aliran, dan organisasi adalah justru bersumber dari adanya perbedaan memahami al Qur�an dan Hadits Nabi.
Menjawab pertanyaan Menteri Agama tersebut, saya mengemukakan bahwa al Qur�an dan Hadits Nabi seharusnya tidak perlu dijadikan bahan perdebatan dan perbantahan. Sebab perdebatan dan perbantahan sehebat apapun tidak akan menghasilkan keputusan yang bersifat final dalam arti mendapatkan pengertian yang secara hakiki benar. Pengertian yang tepat dan benar tentang al Qur�an hanya milik Allah dan Rasul-Nya. Sementara itu, bagi siapapun, hanya sampai pada tingkat menduga atau mengira-ngira sesuai dengan kemampuan akal dan pengetahuannya. Itulah sebabnya banyak kitab tafsir yang isinya berbeda-beda.
Selain itu, perdebatan dan perbantahan pasti akan melahirkan dua kemungkinan, yaitu ada yang memang dan kalah. Biasanya orang yang memperoleh kemenangan akan merasa bangga, tinggi hati, dan bahkan sombong. Sebaliknya bagi yang kalah akan merasa frustasi, merasa rendah, dan bahkan bisa jadi juga akan timbul perasaan dendam. Jika al Qur�an dan Hadits Nabi diperdebatkan dan diperbantahkan maka juga membuka kemungkinan melahirkan suasana menang dan kalah. Mereka yang menang akan sombong dan yang kalah akan dendam. Kedua suasana batin tersebut tidak boleh muncul, apalagi disebabkan dari adanya kitab suci yang seharusnya dijadikan petunjuk tentang kebaikan dan kemuliaan. Al Qur�an, seharusnya justru melahirkan sikap terpuji dan mulia itu.
Perpecahan di kalangan umat Islam hingga melahirkan berbagai madzhab, aliran, organisasi, dan seterusnya, adalah sebagiannya merupakan buah dari perdebatan dan perbantahan terhadap al Qur�an dan Hadits Nabi. Sumber ajaran Islam itu seharusnya bukan diperdebatkan dan diperbantahkan, melainkan paling jauh dimusyawarahkan. Bermusyawarah biasanya tidak sampai melahirkan adanya pihak yang menang dan atau yang kalah. Selain itu, ketika ayat al Qur�an turun, Nabi juga tidak mengajak berkumpul para sahabatnya untuk berdebat, berbantah, atau berseminar, melainkan segera mengajak untuk menjalankan sebaik-baiknya. Umpama saja di zaman Nabi, petunjuk berupa wahyu itu diperdebatkan atau diperbantahkan maka juga tidak menutup kemungkinan terjadi silang pendapat dan perpecahan. Wallahu a�lam
Sumber ; Imamsuprayogo.com