Dalam dunia ilmu pengetahuan, umat Islam setidaknya mengenal adanya
dua jenis ilmu, yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama bersumber
dari al Qur�an dan Hadits Nabi. Sementara itu, ilmu-ilmu umum bersumber
dari hasil penelitian melalui observasi, eksperimentasi, dan penalaran
logis. Umat Islam selama ini menempatkan ilmu agama pada posisi lebih
utama dibanding dengan ilmu umum.
Sebagai akibat dari cara pandang tersebut, lembaga pendidikan Islam semisal pesantren, sehari-hari mengkaji ilmu yang bersumber dari kitab suci dan sejarah hidup nabi. Itulah sebabnya di pesantren lebih populer, selain al Qur�an dan Hadits, melakukan kajian kitab kuning yang merupakan karya para ulama terdahulu. Para santri dipandang berprestasi manakala mereka berhasil mengusai berbagai kitab dimaksud.
Sebaliknya, di pesantren tidak banyak mengkaji kitab-kitab putih, yang membahas ilmu-ilmu yang diperoleh dari hasil observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis, yang kemudian disebut sebagai ilmu umum, yaitu meliputi ilmu-ilmu alam, ilmu social, dan humaniora. Jenis ilmu yang dimaksudkan itu dipelajari di sekolah-sekolah umum, mulai dari tingkat dasar, sekolah menengah, hingga perguruan tinggi.
Cara memandang ilmu secara dikotomik tersebut, pada satu sisi memang menguntungkan. Dengan pembagian ilmu tersebut maka kajian dan wilayah keahlian seseorang menjadi terfocus. Sekelompok orang tertentu akan lebih mendalami ilmu yang bersumber dari kitab suci dan hadits nabi, sementara lainnya akan mengkaji secara lebih mendalam ilmu-ilmu umum. Melalui cara pandang ini maka lahirlah sarjana ilmu agama dan juga sarjana ilmu umum.
Namun hal tersebut jika direnungkan secara mendalam, sebenarnya akan memunculkan pertanyakan, yaitu apakah pembagian tersebut sudah tepat, yakni ada orang yang khusus memahami al Qur�an dan Hadits Nabi, sementara yang lain memahami ilmu yang dirumuskan dari kegiatan ilmiah dimaksud. Bukankah seharusnya, al Qur�an dan Hadits Nabi adalah untuk semua orang tanpa terkecuali, sementara sains yang terbentang luas, dianjurkan agar masing-masing orang memilih sesuai dengan minat dan bakatnya.
Dengan demikian, al Qur�an dan Hadits Nabi seharusnya adalah menjadi bacaan bagi semua orang tanpa terkecuali. Sebagai seorang muslim, sehari-hari memiliki bacaan wajib, yaitu kitab suci, hingga berapapun umur dan di manapun tempatnya. Itulah kemudian al Qur�an menjadi hudan, furqon, tibyan, as shifa�, dan rakhmat bagi semua manusia. Dengan memposisikan al Qur�an seperti yang dimaksudkan itu, maka setiap orang selamanya masih memerlukan untuk memahami kitab suci dimaksud. Seseorang baru berhenti dari mengkaji al Qur�an manakala telah mengakhiri hidupnya.
Sementara itu ilmu umum yang terdiri atas ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu social, dan humaniora, oleh karena wilayahnya sedemikian luas dan bahkan hingga tidak terbatas, maka tidak akan mungkin bagi siapapun mampu mendalami seluruhnya. Seseorang hanya akan mampu mengembangkan ilmu tertentu, misalnya ilmu alam yang terdiri dari biologi, fisika, kimia; ilmu social yaitu sosiologi, sejarah, antropologi, piskologi, dan humaniora terdiri atas filsafat, bahasa dan sastra, dan seni.
Semua jenis ilmu yang biasa disebut sebagai Ilmu dasar tersebut masih harus dikembangkan menjadi jenis ilmu yang bersifat terapan, misalnya ilmu kedokteran, ilmu pertanian, kelautan, teknik, ilmu ekonomi, ilmu hukum, pendidikan dan lain-lain. Untuk mendapatkan berbagai jenis ilmu tersebut, manusia harus mencarinya sendiri, yakni melalui kegiatan penelitian sebagaimana dikemukakan di muka. Sudah barang tentu, ilmu dimaksud sangat besar manfaatnya bagi kehidupan ini. Orang yang hidup di zaman modern menjadi mudah oleh karena telah berhasil mengembangkan dan menggunakan ilmu yang dipelajarinya itu.
Tidak terkecuali umat Islam dengan ilmu modern, mereka dapat melakukan perjalanan haji dalam waktu singkat. Tatkala meninggalkan keluarganya, mereka juga dapat berkomunikasi dengan menggunakan tilpun seluler, memilih pakaian dan berbagai kebutuhan ibadah yang mereka sukai, dan lain-lain. Sebaliknya, bisa dibayangkan, umpama belum ditemukan alat transportasi dan komunikasi modern, maka sekedar beribadah haji saja akan memerlukan waktu berbulan-bulan. Kemudahan yang dimaksudkan itu sebenarnya oleh karena telah ditemukan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Namun sayangnya, umat Islam, sekalipun perintah untuk menggali rahasia alam diumaksud telah jelas dikemukakan di dalam al Qur�an, ternyata belum melakukannya secara serius. Akibatnya umat Islam selama ini masih tertinggal dari umat lainnya. Umat Islam tinggal menikmati hasil penelitian dan teknologi yang dibuat oleh para ilmuwan yang sebenarnya belum tentu beragama Islam. Padahal umpama, umat Islam sendiri melakukan kajian itu, maka harapan agar menjadi orang terbaik, yang salah satu ukurannya adalah berhasil memberi manfaat bagi orang lain, akan diraihnya secara sempurna. Sayangnya, pemaknaan tentang ilmu sebagai rahasia alam oleh sementara kalangan umat Islam masih belum seluas yang digambarkan itu, sehingga di mana-mana mereka masih mengalami ketertinggalan. Wallahu a�lam
Sebagai akibat dari cara pandang tersebut, lembaga pendidikan Islam semisal pesantren, sehari-hari mengkaji ilmu yang bersumber dari kitab suci dan sejarah hidup nabi. Itulah sebabnya di pesantren lebih populer, selain al Qur�an dan Hadits, melakukan kajian kitab kuning yang merupakan karya para ulama terdahulu. Para santri dipandang berprestasi manakala mereka berhasil mengusai berbagai kitab dimaksud.
Sebaliknya, di pesantren tidak banyak mengkaji kitab-kitab putih, yang membahas ilmu-ilmu yang diperoleh dari hasil observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis, yang kemudian disebut sebagai ilmu umum, yaitu meliputi ilmu-ilmu alam, ilmu social, dan humaniora. Jenis ilmu yang dimaksudkan itu dipelajari di sekolah-sekolah umum, mulai dari tingkat dasar, sekolah menengah, hingga perguruan tinggi.
Cara memandang ilmu secara dikotomik tersebut, pada satu sisi memang menguntungkan. Dengan pembagian ilmu tersebut maka kajian dan wilayah keahlian seseorang menjadi terfocus. Sekelompok orang tertentu akan lebih mendalami ilmu yang bersumber dari kitab suci dan hadits nabi, sementara lainnya akan mengkaji secara lebih mendalam ilmu-ilmu umum. Melalui cara pandang ini maka lahirlah sarjana ilmu agama dan juga sarjana ilmu umum.
Namun hal tersebut jika direnungkan secara mendalam, sebenarnya akan memunculkan pertanyakan, yaitu apakah pembagian tersebut sudah tepat, yakni ada orang yang khusus memahami al Qur�an dan Hadits Nabi, sementara yang lain memahami ilmu yang dirumuskan dari kegiatan ilmiah dimaksud. Bukankah seharusnya, al Qur�an dan Hadits Nabi adalah untuk semua orang tanpa terkecuali, sementara sains yang terbentang luas, dianjurkan agar masing-masing orang memilih sesuai dengan minat dan bakatnya.
Dengan demikian, al Qur�an dan Hadits Nabi seharusnya adalah menjadi bacaan bagi semua orang tanpa terkecuali. Sebagai seorang muslim, sehari-hari memiliki bacaan wajib, yaitu kitab suci, hingga berapapun umur dan di manapun tempatnya. Itulah kemudian al Qur�an menjadi hudan, furqon, tibyan, as shifa�, dan rakhmat bagi semua manusia. Dengan memposisikan al Qur�an seperti yang dimaksudkan itu, maka setiap orang selamanya masih memerlukan untuk memahami kitab suci dimaksud. Seseorang baru berhenti dari mengkaji al Qur�an manakala telah mengakhiri hidupnya.
Sementara itu ilmu umum yang terdiri atas ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu social, dan humaniora, oleh karena wilayahnya sedemikian luas dan bahkan hingga tidak terbatas, maka tidak akan mungkin bagi siapapun mampu mendalami seluruhnya. Seseorang hanya akan mampu mengembangkan ilmu tertentu, misalnya ilmu alam yang terdiri dari biologi, fisika, kimia; ilmu social yaitu sosiologi, sejarah, antropologi, piskologi, dan humaniora terdiri atas filsafat, bahasa dan sastra, dan seni.
Semua jenis ilmu yang biasa disebut sebagai Ilmu dasar tersebut masih harus dikembangkan menjadi jenis ilmu yang bersifat terapan, misalnya ilmu kedokteran, ilmu pertanian, kelautan, teknik, ilmu ekonomi, ilmu hukum, pendidikan dan lain-lain. Untuk mendapatkan berbagai jenis ilmu tersebut, manusia harus mencarinya sendiri, yakni melalui kegiatan penelitian sebagaimana dikemukakan di muka. Sudah barang tentu, ilmu dimaksud sangat besar manfaatnya bagi kehidupan ini. Orang yang hidup di zaman modern menjadi mudah oleh karena telah berhasil mengembangkan dan menggunakan ilmu yang dipelajarinya itu.
Tidak terkecuali umat Islam dengan ilmu modern, mereka dapat melakukan perjalanan haji dalam waktu singkat. Tatkala meninggalkan keluarganya, mereka juga dapat berkomunikasi dengan menggunakan tilpun seluler, memilih pakaian dan berbagai kebutuhan ibadah yang mereka sukai, dan lain-lain. Sebaliknya, bisa dibayangkan, umpama belum ditemukan alat transportasi dan komunikasi modern, maka sekedar beribadah haji saja akan memerlukan waktu berbulan-bulan. Kemudahan yang dimaksudkan itu sebenarnya oleh karena telah ditemukan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Namun sayangnya, umat Islam, sekalipun perintah untuk menggali rahasia alam diumaksud telah jelas dikemukakan di dalam al Qur�an, ternyata belum melakukannya secara serius. Akibatnya umat Islam selama ini masih tertinggal dari umat lainnya. Umat Islam tinggal menikmati hasil penelitian dan teknologi yang dibuat oleh para ilmuwan yang sebenarnya belum tentu beragama Islam. Padahal umpama, umat Islam sendiri melakukan kajian itu, maka harapan agar menjadi orang terbaik, yang salah satu ukurannya adalah berhasil memberi manfaat bagi orang lain, akan diraihnya secara sempurna. Sayangnya, pemaknaan tentang ilmu sebagai rahasia alam oleh sementara kalangan umat Islam masih belum seluas yang digambarkan itu, sehingga di mana-mana mereka masih mengalami ketertinggalan. Wallahu a�lam
Sumber : Imamsuprayogo.com