Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof Imam Suprayogo : Demokrasi Dan Korupsi

Jumat, 19 Februari 2016 | 10.25 WIB Last Updated 2016-02-19T03:25:30Z
Persoalan korupsi di negeri ini sekalipun sudah cukup lama diberantas, ternyata belum selesai. Sehari-hari, bangsa ini masih saja disibukkan bicara soal korupsi. Selain ada jaksa, hakim, polisi, dan sejak beberapa lama ditambah KPK, namun korupsi masih terjadi di mana-mana. Jika dahulu, korupsi belum berhasil diberantas dipandang oleh karena polisi dan jaksa belum cukup, namun setelah sekian lama ada KPK, ternyata korupsi juga masih tetap berlangsung. Hal itu menunjukan bahwa menghilangkan korupsi tidak cukup hanya menambah jumlah institusi pencegah korupsi. 

Bangsa yang beradab adalah bangsa yang jujur, menghargai orang lain, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, dan juga memiliki nilai-nilai mulia yang dijunjung tinggi secara bersama-sama. Kualitas bangsa seperti itu yang diinginkan oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi sudah sekian lama merdeka, ternyata cita-cita mulia itu masih saja belum berhasil diraih. Padahal, menurut sejarahnya, bangsa ini sejak lama disebut-sebut sebagai bangsa yang berkepribadian luhur. 

Akan tetapi ternyata, persoalan bangsa ini justru terletak pada hal tersebut di muka, yaitu belum mampu menjaga sendi-sendi kepribadian yang luhur, di antaranya adalah kejujuran itu. Buktinya korupsi masih selalu terjadi dan ada di mana-mana. Seorang pejabat politik dituduh korupsi dan masuk penjara sudah dianggap sebagai hal biasa. Menurut informasi, lebih dari separo pejabat daerah, yakni bupati, walikota, dan guibernur, sudah menjadi tersangka dan masuk penjara. Padahal yang bersangkutan selain merupakan pilihan rakyat oleh karena dianggap sebagai orang baik, juga memiliki tekat untuk memberantas korupsi. 

Beban pejabat politik di berbagai tingkatan menjadi sangat berat. Dituntut jujur tetapi juga harus melakukan langkah-langkah strategis untuk memenuhi aspirasi rakyat sebagaimana janji-janjinya ketika kampanye pilkada. Tatkala harus melakukan langkah strategis sebagai tuntutan perubahan, mereka harus berhadapan dengan hukum, Beban itu menjadi amat berat, karena peraturan harus dijalankan apa adanya, sementara apa yang dilakukan itu berhadapan dengan persoalan teknis yang tidak mudah dihindari. 

Siapapun mau berbuat jujur, tidak terkecuali para pejabat politik, akan tetapi nilai mulia itu ternyata tidak mudah diimplementasikan. Sehari-hari para pejabat politik berhadapan pada problem-problem yang bersifat delematik, antara diambil tetapi beresiko, sedangkan tidak diambil akan merugikan kepemimpinannya. Maka yang terjadi adalah membangiun komunikasi, negosiasi, melakukan berbagai jenis pendekatan, yang semuanya itu dimaksudkan agar menjadi aman. Tentu hal demikian juga berbiaya mahal dan masih beresiko. 

Apapun yang dilakukan oleh pejabat publik tatkala salah tetap saja salah, harus dipertanggung jawabkan. Padahal kesalahan itu sendiri ternyata penyebabnya tidak tunggal. Bermacam-macam sebab, mulai dari persoalan demokrasi berbiaya tinggi yang harus dibayar kembali, adanya kekuatan penekan yang tidak mudah dielakkan, dan kepentingan pribadi dan keluarga yang seharusnya juga dipenuhi. Semua itu adalah beban dengan penuh resiko. 

Beruntung, banyak orang memiliki nafsu berkuasa. Umpama nafsu itu tidak dimiliki, melihat resiko jabatan politik yang sedemikkian tinggi, kiranya tidak banyak orang berminat menjadi pejabatg politik di zaman seperti ini. Fenomena tidak terlalu banyak orang yang mengajukan diri sebagai calon kepala daerah di berbagai tempat beberapa waktu yang lalu, dan bahkan hingga kekurangan calon, maka mungkin saja hal itu disebabkan oleh resiko yang sedemikian tinggi itu. Banyak orang semakin sadar, bahwa jabatan politik tidak saja menaikkan status seseorang, tetapi juga beresiko menjatiuhkan martabatnya. 

Kebetulan saya pernah ketemu pejabat tinggi negara yang sedang terkena kasus hukum di KPK. Dia mengungkapkan penyesalannya terlanjur mau menjadi pejabat politik yang akhirnya harus menanggung resiko yang sedemikian berat itu. Umpama mengetahui bahwa akhir jabatannya seperti dialami itu, ia mengatakan tidak akan mau mendekat pada jabatan itu. Mendekat saja, sesuai pengakuannya tidak mau. Harkat dan martabatnya dirasakan tidak dihargai dan hilang percuma. Idealisme dan usahanya yang dilakukan dengan sekuat tenaga dirasakan sama sekali tidak dihargai. 

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa di dalam membangun dan menegakkan keadilan ternyata juga melahirkan rasa ketidak-adilan. Maka untuk menyelamatkan semua, memerlukan pemikiran mendalam, yaitu bagaimana korupsi tidak terjadi, tetapi juga tidak mengorbankan banyak orang, dan apalagi mereka itu adalah pemimpin pilihan rakyat, memiliki harkat dan martabat, dan juga menghendaki, ���sebagaimana manusia pada umumnya, diperlakukan secara adil. Mungkin perlu direnungkan secara mendalam, jangan-jangan korupsi yang selama ini terjadi sebenarnya merupakan anak kandung demokrasi yang belum dijalankan sepenuhnya benar. Wallahu a�lam

×
Berita Terbaru Update