Sekedar menunjukkan isi hati, seseorang tidak cukup menyampaikan melalui ucapan, tetapi seringkali juga menyampaikan melalui gerak reflek tangannya. Namanya sebagai gerak reflek, maka kemampuan itu bukan merupakan hasil latihan atau diperoleh melalui pelajaran yang memerlukan guru. Kemampuan itu diperoleh tanpa perantara orang lain. Sekalipun tidak pernah berlatih atau belajar, secara otomatis siapapun bisa melakukannya.
Anehnya kemampuan itu seragam, dan barangkali juga bersifat universal. Seseorang yang sedang merasa jengkel, kebigungan, kehilangan kesabaran karena memikirkan atau menanggungsesuatu yang tidak mudah diselesaikan, maka tangannya secara reflektif memegang dahi atau kepalanya. Berbeda dengan ketika jengkel, yaitu tatkala merasa senang, hormat sesama, mengajak orang lain bersabar, ikhlas, dan semacamnya, maka tangannya akan tertuju pada bagian dadanya.
Hal demikian itu sebagaimana disebutkan di muka ternyata bersifat universal, yakni dilakukan oleh siapa saja, tanpa mengenal suku, etnis, kebangsaan, dan juga agama. Orang Islam ketika sedang kebingungan tampak memegang kepalanya, dan demikian pula penganut Kristen, hindu, budha, katholik, dan seterusnya. Demikian pula, orang berasal dari etnis apa saja, ketika mereka menunjukkan kegembiraan, belas kasihan, menghormat, dan sejenisnya juga akan memegang dadanya.
Apa yang tampak itu sederhana, sehingga mungkin saja semua orang sudah memahaminya. Akan tetapi hal yang sederhana itu belum tentu telah dipahami oleh banyak orang. Padahal pengetahuan itu penting, yaitu untuk memberikan pemahaman terhadap perilaku manusia pada umumnya. Banyak orang mengira bahwa manusia selalu memerlukan pengetahua hingga hal yang amat detail. Mungkin saja mereka mengira, bahwa semua pengetahuan atau ketrampilan harus diperoleh melalui orang lain. Padahal, belajar dari cara orang mengekspresikan suara hatinya itu, tanpa melalui pelatihan, training, atau pembelajaran ternyata dapat melakukan sendiri secara benar.
Sebenarnya banyak kemampuan dan pengetahuan seseorang yang dibangun sendiri tanpa pelatihan atau training oleh orang lain. Bahkan pengetahuan itu sangat dahsyat. Misalnya, orang dahulu tanpa belajar di sekolah formal seperti sekarang ini, mampu menciptakan huruf dan juga bahasa etnisnya masing-masing yang kemudian digunakan untuk sarana komunikasi antar sesama. Orang Jawa misalnya mampu menciptakan huruf jawa dan bahasa Jawa yang diperuntukkan bagi masing-masing strata social secara berbeda-beda. Dan pasti kemampuan itu tidak saja dimiliki orang Jawa, tetapi juga orang Madura, Sunda, Bali, Sasak, Bima, Makassar, Papua, dan semua suku atau bangsa.
Sebaliknya, orang yang hidup di zaman sekarang ini, sekalipun sebagiannya telah menghasilkan teknologi yang luar biasa, namun sebagian yang lain sekedar merawat bahasa dan tulisan yang telah diciptakan dimaksud ternyata gagal. Anak keturunan orang Jawa sekarang ini misalnya sudah banyak yang tidak mengenal bahasa dan juga huruf atau tulisan yang diciptakan oleh leluhurnya. Kiranya juga tidak saja bahasa dan tulisan masing-masing etnisnya sendiri yang sudah dilupakan, melainkan banyak hal, misalnya menyangkut tata krama pergaulan, pola hidup, kesenian, dan masih banyak lagi lainnya.
Tulisan ini bukan ingin mengajak kembali ke zaman kuno, tetapI ingin menunjukkan bahwa berbagai pengetahuan dan budaya telah dihasilkan oleh para pendahulu melalui ketekunan dan kerja kerasnya. Maka generasi seterus seharusnya mewarisi kemampuan untuk membaca, mencipta atau menemukan hal-hal baru dimaksud. Sekarang ini, sekalipun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sedemikian maju dan modern, sehingga apa saja yang dahulu sulit diperoleh, sekarang sedemikian mudah didapat, tetapi generasi baru sekarang ternyata tidak selalu mampu menghasilkan karya dan budaya baru yang dapat dibanggakan.
Lebih aneh lagi, lembaga pendidikan sudah sedemikian maju, sehingga menghasilkan banyak sarjana, tetapi seiring dengan gejala itu persoalan kehidupan juga semakin banyak. Terasa menjadi aneh, para sarjana yang seharusnya mampu menolong orang lain, namun ternyata tidak sedikit yang masih harus ditolong dan menjadi beban orang lain. Banyak sarjana, namun sekedar mencukupi kebutuhan hidupnya saja, masih kebingungan. Jumlah pengangguran sarjana, semakin lama bukan berkurang, melainkan sebaliknya, yaitu justru grafiknya semakin meningkat.
Keadaan yang memprihatinkan itu, kiranya tidak ada salahnya mempertanyakan, yaitu apa sebenarnya yang salah dari proses transmisi ilmu di dalam kehidupan modern sekarang ini. Jumlah lembaga pendidikan terpenuhi hingga tingkat universitas, tetapi ternyata masih banyak lulusannya menunjukkan kemampuannya kurang mencukupi. Padahal sebagaimana disebutkan di depan, manusia sebenarnya telah memiliki kemampuan yang dibangunnya sendiri secara mengagumkan. Oleh karena itu, kiranya perlu dipertanyakan kembali, yaitu bahwa jangan-jangan generasi lembek sebagaimana digambarkan itu sebenarnya merupakan buah dari bentuk atau sistem pendidikan yang selama ini dipercaya benar, baik menyangkut kurikulum, perbukuan, guru, system pembelajaran dan lainnya.
Sebagai contoh kekeliruan itu di antaranya, para siswa terlalu banyak dituntun padahal seharusnya diberi kebebasan untuk berkreasi guna mengembangkan berbagai potensinya. Para guru terlalu dikekang atau kurang diberi kebebasan sehingga mereka tidak mampu mengajar atau mendidik sesuai dengan suara hatinya, melainkan hanya berdasarkan peraturan yang dibuat oleh atasannya. Keadaan itu masih diperparah oleh kemauan birokrasi yang hanya mengejar target, kuantitas, dan formalitas yang semua itu mengakibatkan ruh pendidikan di semua lini kehidupan menjadi terasa mati. Akibatnya, biaya mahal yang disediakan untuk pendidikan, hasilnya tidak mampu menyelesaikan masalah. Problem dimaksud seharusnya segera diatasi dan bukan dibiarkan beranak pinak.
Dengan mengamati cara semua orang dalam mengekspresikan suasana batin sebagaimana dicontohkan di muka, ternyata manusia sebenarnya telah memiliki potensi dan kemampuan yang luar biasa untuk hidup dan mengembangkan dirinya sekalipun tanpa melalui pembelajaran dan atau latihan. Atas dasar pandangan itu, maka dalam hal-hal tertentu, manusia seharusnya dibebaskan dan diberi ruang untuk berkreasi, berinovasi, dan mencipta sendiri. Intervensi hingga persoalan detail justru akan mematikan berbagai potensi yang mereka miliki. Oleh karena itu hal yang tidak boleh dilupakan oleh siapapun, apalagi oleh para pemegang otoritas kebijakan pendidikan, adalah bahwa setiap manusia sebanarnya telah memiliki nalar, kemampuan berpikir, dan juga mencipta yang semua itu berasal dari pembawaan masing-masing. Wallahu a�lam -
Anehnya kemampuan itu seragam, dan barangkali juga bersifat universal. Seseorang yang sedang merasa jengkel, kebigungan, kehilangan kesabaran karena memikirkan atau menanggungsesuatu yang tidak mudah diselesaikan, maka tangannya secara reflektif memegang dahi atau kepalanya. Berbeda dengan ketika jengkel, yaitu tatkala merasa senang, hormat sesama, mengajak orang lain bersabar, ikhlas, dan semacamnya, maka tangannya akan tertuju pada bagian dadanya.
Hal demikian itu sebagaimana disebutkan di muka ternyata bersifat universal, yakni dilakukan oleh siapa saja, tanpa mengenal suku, etnis, kebangsaan, dan juga agama. Orang Islam ketika sedang kebingungan tampak memegang kepalanya, dan demikian pula penganut Kristen, hindu, budha, katholik, dan seterusnya. Demikian pula, orang berasal dari etnis apa saja, ketika mereka menunjukkan kegembiraan, belas kasihan, menghormat, dan sejenisnya juga akan memegang dadanya.
Apa yang tampak itu sederhana, sehingga mungkin saja semua orang sudah memahaminya. Akan tetapi hal yang sederhana itu belum tentu telah dipahami oleh banyak orang. Padahal pengetahuan itu penting, yaitu untuk memberikan pemahaman terhadap perilaku manusia pada umumnya. Banyak orang mengira bahwa manusia selalu memerlukan pengetahua hingga hal yang amat detail. Mungkin saja mereka mengira, bahwa semua pengetahuan atau ketrampilan harus diperoleh melalui orang lain. Padahal, belajar dari cara orang mengekspresikan suara hatinya itu, tanpa melalui pelatihan, training, atau pembelajaran ternyata dapat melakukan sendiri secara benar.
Sebenarnya banyak kemampuan dan pengetahuan seseorang yang dibangun sendiri tanpa pelatihan atau training oleh orang lain. Bahkan pengetahuan itu sangat dahsyat. Misalnya, orang dahulu tanpa belajar di sekolah formal seperti sekarang ini, mampu menciptakan huruf dan juga bahasa etnisnya masing-masing yang kemudian digunakan untuk sarana komunikasi antar sesama. Orang Jawa misalnya mampu menciptakan huruf jawa dan bahasa Jawa yang diperuntukkan bagi masing-masing strata social secara berbeda-beda. Dan pasti kemampuan itu tidak saja dimiliki orang Jawa, tetapi juga orang Madura, Sunda, Bali, Sasak, Bima, Makassar, Papua, dan semua suku atau bangsa.
Sebaliknya, orang yang hidup di zaman sekarang ini, sekalipun sebagiannya telah menghasilkan teknologi yang luar biasa, namun sebagian yang lain sekedar merawat bahasa dan tulisan yang telah diciptakan dimaksud ternyata gagal. Anak keturunan orang Jawa sekarang ini misalnya sudah banyak yang tidak mengenal bahasa dan juga huruf atau tulisan yang diciptakan oleh leluhurnya. Kiranya juga tidak saja bahasa dan tulisan masing-masing etnisnya sendiri yang sudah dilupakan, melainkan banyak hal, misalnya menyangkut tata krama pergaulan, pola hidup, kesenian, dan masih banyak lagi lainnya.
Tulisan ini bukan ingin mengajak kembali ke zaman kuno, tetapI ingin menunjukkan bahwa berbagai pengetahuan dan budaya telah dihasilkan oleh para pendahulu melalui ketekunan dan kerja kerasnya. Maka generasi seterus seharusnya mewarisi kemampuan untuk membaca, mencipta atau menemukan hal-hal baru dimaksud. Sekarang ini, sekalipun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sedemikian maju dan modern, sehingga apa saja yang dahulu sulit diperoleh, sekarang sedemikian mudah didapat, tetapi generasi baru sekarang ternyata tidak selalu mampu menghasilkan karya dan budaya baru yang dapat dibanggakan.
Lebih aneh lagi, lembaga pendidikan sudah sedemikian maju, sehingga menghasilkan banyak sarjana, tetapi seiring dengan gejala itu persoalan kehidupan juga semakin banyak. Terasa menjadi aneh, para sarjana yang seharusnya mampu menolong orang lain, namun ternyata tidak sedikit yang masih harus ditolong dan menjadi beban orang lain. Banyak sarjana, namun sekedar mencukupi kebutuhan hidupnya saja, masih kebingungan. Jumlah pengangguran sarjana, semakin lama bukan berkurang, melainkan sebaliknya, yaitu justru grafiknya semakin meningkat.
Keadaan yang memprihatinkan itu, kiranya tidak ada salahnya mempertanyakan, yaitu apa sebenarnya yang salah dari proses transmisi ilmu di dalam kehidupan modern sekarang ini. Jumlah lembaga pendidikan terpenuhi hingga tingkat universitas, tetapi ternyata masih banyak lulusannya menunjukkan kemampuannya kurang mencukupi. Padahal sebagaimana disebutkan di depan, manusia sebenarnya telah memiliki kemampuan yang dibangunnya sendiri secara mengagumkan. Oleh karena itu, kiranya perlu dipertanyakan kembali, yaitu bahwa jangan-jangan generasi lembek sebagaimana digambarkan itu sebenarnya merupakan buah dari bentuk atau sistem pendidikan yang selama ini dipercaya benar, baik menyangkut kurikulum, perbukuan, guru, system pembelajaran dan lainnya.
Sebagai contoh kekeliruan itu di antaranya, para siswa terlalu banyak dituntun padahal seharusnya diberi kebebasan untuk berkreasi guna mengembangkan berbagai potensinya. Para guru terlalu dikekang atau kurang diberi kebebasan sehingga mereka tidak mampu mengajar atau mendidik sesuai dengan suara hatinya, melainkan hanya berdasarkan peraturan yang dibuat oleh atasannya. Keadaan itu masih diperparah oleh kemauan birokrasi yang hanya mengejar target, kuantitas, dan formalitas yang semua itu mengakibatkan ruh pendidikan di semua lini kehidupan menjadi terasa mati. Akibatnya, biaya mahal yang disediakan untuk pendidikan, hasilnya tidak mampu menyelesaikan masalah. Problem dimaksud seharusnya segera diatasi dan bukan dibiarkan beranak pinak.
Dengan mengamati cara semua orang dalam mengekspresikan suasana batin sebagaimana dicontohkan di muka, ternyata manusia sebenarnya telah memiliki potensi dan kemampuan yang luar biasa untuk hidup dan mengembangkan dirinya sekalipun tanpa melalui pembelajaran dan atau latihan. Atas dasar pandangan itu, maka dalam hal-hal tertentu, manusia seharusnya dibebaskan dan diberi ruang untuk berkreasi, berinovasi, dan mencipta sendiri. Intervensi hingga persoalan detail justru akan mematikan berbagai potensi yang mereka miliki. Oleh karena itu hal yang tidak boleh dilupakan oleh siapapun, apalagi oleh para pemegang otoritas kebijakan pendidikan, adalah bahwa setiap manusia sebanarnya telah memiliki nalar, kemampuan berpikir, dan juga mencipta yang semua itu berasal dari pembawaan masing-masing. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com