Ketiga pekerja yang disebut dalam judul tulisan ini adalah sama-sama memproduk jasa. Seniman bekerja untuk melahirkan karya seni yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Demikian pula guru bertugas untuk mendidik anak, agar menjadi cerdas dan berperilaku sebagaimana yang diharapkan oleh orang tua dan juga masyarakatnya.
Agak berbeda dari kedua jenis pekerja yang disebutkan sebelumnya adalah tukang. Seniman maupun guru agar membuahkan karya terbaik, mereka harus diberi kebebasan seluas-luasnya. Sebaliknya, pekerja sebagai tukang, mereka justru harus diberi pedoman, aturan, dan bahkan juga target sebagaimana yang telah dirancang sebelumnya.
Berbeda dengan tukang, seorang seniman tidak terlalu membutuhkan pedoman, aturan dan tata tertip yang ketat. Manakala seorang seniman terlalu diatur maka tidak akan berhasil membuahkan karya seni yang indah. Seni apa saja, jika terlalu diatur hasilnya akan tidak maksimal. Seorang penyanyi jika terlalu diberi pedoman maka mereka tidak akan mampu menyanyi dengan baik. Demikian pula halnya dengan jenis seni lainnya.
Contoh lainnya, agar seorang pelukis berhasil membuahkan karya lukis yang indah, maka hendaknya mereka dibiarkan kapan saja melukis, menggunakan jenis alat yang mereka sukai, dan bahkan waktu melukis pun tidak perlu ditentukan, diatur, dan dibatasi. Tegasnya, seniman memerlukan kemerdekaan untuk menyelesaikan tugasnya seluas-luasnya.
Sekalipun demikian, memang boleh saja mereka diberikan ketentuan, pedoman atau aturan, tetapi hal itu tidak perlu rinci dan kaku. Seorang seniman, manakala terlalu banyak diatur, maka malah justru tidak produktif. Seorang seniman biasanya mengikuti kehendak hatinya sendiri. Oleh karena dorongan kehendak bebasnya itu, seniman tidak pernah tampak berbaju seragam seperti PNS, tentara atau polisi. Jika para seniman berbaju seragam, maka justru tidak kelihatan jiwa seninya.
Kebebasan sebagaimana yang dibutuhkan oleh para seniman itu sebenarnya juga diperlukan oleh para guru. Sehari-hari para pendidik atau guru selalu bersentuhan dengan murid yang memiliki watak, karakter, dan perilaku yang berbeda-beda. Jika perilaku para guru diseragamkan, termasuk cara mendidik dan mengajarnya, maka akan membosankan baik bagi guru yang bersangkutan dan apalagi terhadap para muridnya.
Memang jika dirasakan secara saksama, pekerjaan guru sebenarnya juga mirip dengan pekerjaan seniman. Guru harus memiliki seni mendidik dan juga seni mengajar. Manakala guru terlalu dituntut agar mengikuti aturan, tata tertib dan pedoman mengajar yang berlebihan, maka akan melahirkan suasana kaku dan akhirnya membosankan. Maka bisa dibayangkan ketika guru dalam menunaikan tugasnya sehari-hari diliputi oleh rasa bosan, maka hasilnya juga tidak akan maksimal. Ruang kelas akan bagaikan penjara, baik penjara bagi guru maupun sekaligus bagi para muridnya.
Pada akhir-akhir ini untuk memenuhi tuntutan birokrasi, mendidik dan mengajar pun juga harus diatur secara ketat. Apa saja yang harus diajarkan, cara mengajarkan, kapan harus diajarkan, buku yang digunakan, hingga bagaimana memberikan penilaian terhadap prestasi para muridnya, supaya mengikuti ketentuan birokrasi. Bahkan, guru dalam mengajar, tidak saja harus mengikuti kemauan birokrasi, tetapi juga harus membuat laporan tertulis yang tidak kalah rumitnya dibanding mengajarnya itu sendiri.
Di zaman birokrasi mesin seperti sekarang ini, rupanya pekerja apa saja harus mengikuti aturan, tata tertib, pedoman, dan sejenisnya secara ketat, dan tidak terkecuali para seniman maupun guru. Mungkin saja maksudnya adalah baik, agar semua kegiatan bisa terukur dan dapat dipertanggung jawabkan. Namun sebenarnya ada jenis pekerjaan, agar diraih hasil yang berkualitas, diperlukan suasana yang khas, yaitu misalnya ada kebebasan, terbuka, dan berani. Tentu, harus bertanggung jawab.
Para tukang boleh-boleh saja diatur, diberi pedoman atau tata tertib yang ketat, tokh sehari-hari mereka hanya bekerja dengan benda mati. Akan tetapi, sebagai seniman dan juga para guru seharusnya tidak boleh diperlakukan seperti itu. Pada setiap saat mereka selalu bersentuhan dengan pikiran, perasaan, dan hati banyak orang yang berbeda-beda dan bahkan juga selalu berubah-ubah. Keadaan seperti itu menuntut suasana tersendiri. Banyaknya peraturan, pedoman, tata tertib, dan sejenisnya, dengan maksud penyeragaman hanya akan membuahkan suasana kaku, pemaksaan, kepura-puraan, dan bahkan juga sebatas akan menyentuh aspek formalnya belaka. Seni dan pendidikan yang demikian akan selalu mengecewakan, artinya menjadi gagal. Wallahu a�lam. -
Agak berbeda dari kedua jenis pekerja yang disebutkan sebelumnya adalah tukang. Seniman maupun guru agar membuahkan karya terbaik, mereka harus diberi kebebasan seluas-luasnya. Sebaliknya, pekerja sebagai tukang, mereka justru harus diberi pedoman, aturan, dan bahkan juga target sebagaimana yang telah dirancang sebelumnya.
Berbeda dengan tukang, seorang seniman tidak terlalu membutuhkan pedoman, aturan dan tata tertip yang ketat. Manakala seorang seniman terlalu diatur maka tidak akan berhasil membuahkan karya seni yang indah. Seni apa saja, jika terlalu diatur hasilnya akan tidak maksimal. Seorang penyanyi jika terlalu diberi pedoman maka mereka tidak akan mampu menyanyi dengan baik. Demikian pula halnya dengan jenis seni lainnya.
Contoh lainnya, agar seorang pelukis berhasil membuahkan karya lukis yang indah, maka hendaknya mereka dibiarkan kapan saja melukis, menggunakan jenis alat yang mereka sukai, dan bahkan waktu melukis pun tidak perlu ditentukan, diatur, dan dibatasi. Tegasnya, seniman memerlukan kemerdekaan untuk menyelesaikan tugasnya seluas-luasnya.
Sekalipun demikian, memang boleh saja mereka diberikan ketentuan, pedoman atau aturan, tetapi hal itu tidak perlu rinci dan kaku. Seorang seniman, manakala terlalu banyak diatur, maka malah justru tidak produktif. Seorang seniman biasanya mengikuti kehendak hatinya sendiri. Oleh karena dorongan kehendak bebasnya itu, seniman tidak pernah tampak berbaju seragam seperti PNS, tentara atau polisi. Jika para seniman berbaju seragam, maka justru tidak kelihatan jiwa seninya.
Kebebasan sebagaimana yang dibutuhkan oleh para seniman itu sebenarnya juga diperlukan oleh para guru. Sehari-hari para pendidik atau guru selalu bersentuhan dengan murid yang memiliki watak, karakter, dan perilaku yang berbeda-beda. Jika perilaku para guru diseragamkan, termasuk cara mendidik dan mengajarnya, maka akan membosankan baik bagi guru yang bersangkutan dan apalagi terhadap para muridnya.
Memang jika dirasakan secara saksama, pekerjaan guru sebenarnya juga mirip dengan pekerjaan seniman. Guru harus memiliki seni mendidik dan juga seni mengajar. Manakala guru terlalu dituntut agar mengikuti aturan, tata tertib dan pedoman mengajar yang berlebihan, maka akan melahirkan suasana kaku dan akhirnya membosankan. Maka bisa dibayangkan ketika guru dalam menunaikan tugasnya sehari-hari diliputi oleh rasa bosan, maka hasilnya juga tidak akan maksimal. Ruang kelas akan bagaikan penjara, baik penjara bagi guru maupun sekaligus bagi para muridnya.
Pada akhir-akhir ini untuk memenuhi tuntutan birokrasi, mendidik dan mengajar pun juga harus diatur secara ketat. Apa saja yang harus diajarkan, cara mengajarkan, kapan harus diajarkan, buku yang digunakan, hingga bagaimana memberikan penilaian terhadap prestasi para muridnya, supaya mengikuti ketentuan birokrasi. Bahkan, guru dalam mengajar, tidak saja harus mengikuti kemauan birokrasi, tetapi juga harus membuat laporan tertulis yang tidak kalah rumitnya dibanding mengajarnya itu sendiri.
Di zaman birokrasi mesin seperti sekarang ini, rupanya pekerja apa saja harus mengikuti aturan, tata tertib, pedoman, dan sejenisnya secara ketat, dan tidak terkecuali para seniman maupun guru. Mungkin saja maksudnya adalah baik, agar semua kegiatan bisa terukur dan dapat dipertanggung jawabkan. Namun sebenarnya ada jenis pekerjaan, agar diraih hasil yang berkualitas, diperlukan suasana yang khas, yaitu misalnya ada kebebasan, terbuka, dan berani. Tentu, harus bertanggung jawab.
Para tukang boleh-boleh saja diatur, diberi pedoman atau tata tertib yang ketat, tokh sehari-hari mereka hanya bekerja dengan benda mati. Akan tetapi, sebagai seniman dan juga para guru seharusnya tidak boleh diperlakukan seperti itu. Pada setiap saat mereka selalu bersentuhan dengan pikiran, perasaan, dan hati banyak orang yang berbeda-beda dan bahkan juga selalu berubah-ubah. Keadaan seperti itu menuntut suasana tersendiri. Banyaknya peraturan, pedoman, tata tertib, dan sejenisnya, dengan maksud penyeragaman hanya akan membuahkan suasana kaku, pemaksaan, kepura-puraan, dan bahkan juga sebatas akan menyentuh aspek formalnya belaka. Seni dan pendidikan yang demikian akan selalu mengecewakan, artinya menjadi gagal. Wallahu a�lam. -
Sumber : Imamsuprayogo.com