Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof Imam Suprayogo : Tatkala Agama Dijadikan Bahan Perdebatan

Selasa, 09 Februari 2016 | 09.42 WIB Last Updated 2016-02-09T02:42:28Z
Sebenarnya yang paling tahu tentang substansi ajaran agama itu adalah pembawa agama itu sendiri, dalam hal ini Islam adalah Nabi Muhammad sendiri. Sementara itu bagi selainnya, tidak mengapa jika dikatakan sekedar menurut persepsinya masing-masing. Sebagai sebuah persepsi tentu sangat tergantung pada latar belakang yang bersangkutan. Oleh karena itu, persepsi masing-masing orang pasti berbeda-beda, dan apalagi di antara generasi yang berlainan.

Sumber pokok ajaran Islam itu sama, yaitu al Qur;an dan hadits nabi. Akan tetapi oleh karena bekal kemampuan menangkap pesan dari masing-masing orang berbeda, dan demikian pula latar belakang sejarah, kondisi sosial, dan lain-lain berbeda-beda, maka hasil pemahaman itu sangat mungkin terjadi perbedaan. Bahkan perbedaan itu akan melebar ketika terdapat faktor kepentingan lain, baik terkait ekonomi, politik, sosial, dan sebagainaya.

Munculnya perbedaan persepsi tersebut menumbuhkan semangat dari berbagai kalangan untuk memperdebatkan. Dalam beredebatan tentu masing-masing pihak memiliki nafsu untuk menang, unggul dan atau dianggap lebih dari yang lain. Setiap orang membutuhkan pengakuan dari orang lain, tidak terkecuali pengakuan bahwa pemahaman agamanya adalah benar. Keinginan tersebut sangat mungkin akan berhadapan dengan kepentingan orang lain, yakni sama-sama ingin merasa unggul dan menang itu.

Dalam sebuah kompetisi, atau perebutan untuk menang, biasanya tidak saja kekuatan akal yang dimainkan, melainkan juga emosi. Manakala kedua hal itu sudah sama-sama dimainkan maka obyektifitas untuk mendapatkan kebenaran tidak jarang terkalahkan. Subyektifitas dan bahkan irrasionalitas dikedepankan sekedar untuk mendapatkan kemenangan itu. Padahal, agama sebenarnya bukan bersumber pada akal. Memahami ajaran agama menggunakan akal, tetapi akal bukan sebagai sumber agama. Misalnya, cara-cara menyembah Tuhan tidak boleh mendasarkan pada rumusan yang dibuat oleh akal.

Berdebatan apa saja, termasuk perdebatan agama, tidak mustahil diwarnai oleh emosi dan akal yang tidak selalu terkontrol. Masing-masing pihak terjadi saling menjatuhkan, menyalahkan dan bahkan mengkafirkan. Akibatnya, agama yang sebenarnya hadir untuk mempersatukan, mendamaian, dan agar saling kenal mengenal, tetapi akhirnya justru sebaliknya, yaitu konflik, bertikai, dan permusuhan yang tidak berkesudahan. Munculnya berbagai aliran, madzhab, organisasi yang berbeda-beda, dan masing-masing saling mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar, adalah akibat dari perdebatan tersebut.

Agama semestinya tidak diperdebatkan, melainkan dimusyawarahkan. Dalam bermusyawarah itu manakala terjadi perbedaan pendapat hingga tidak bisa diselesaikan, maka hendaknya segera kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemenangan dalam perdebatan masalah agama selalu tidak pernah final. Sebab kebenaran yang hakiki, adalah hanya milik Allah dan rasul-Nya. Seseorang mengatakan bahwa dirinya paling benar, ���-sebatas ukuran manusia, adalah boleh saja. Akan tetapi kebenaran yang sebenarnya atau hakiki, masih tetap berada pada otoritas Allah dan Rasul.Nya.

Dalam soal agama, manusia diperintahkan mengikuti petunjuk kitab suci dan tauladan kehidupan Rasul-Nya. Manakala terjadi perbedaan pemahaman, seharusnya dimusyawarahkan dan bukan diperdebatkan untuk mendapatkan kalah atau menang. Agama bukan untuk diperdebatan, melainkan hendaknya dijadikan petunjuk untuk dijalankan. Menjalankan agama juga harus dengan sungguh-sungguh, sabar, dan ikhlas. Oleh karena itu, menjalankan agama sebenarnya tidak mudah, maka seharusnya tidak diperberat lagi dengan perdebatan yang akan mengganggu nilai apa yang dilakukannya itu. Wallahu a�lam
×
Berita Terbaru Update