Apa saja yang menyangkut kepentingan orang banyak dan kepentingan itu diselesaikan dengan pendekatan organisasi, maka keputusan yang diambil selalu diformalkan. Dengan menjadi bersifat formal itu maka orang akan mengakui dan mengangap resmi atau sah. Tentang substansi di balik yang bersifat formal itu, boleh saja orang atau institusi lain mengujinya. Hasilnya, bisa jadi mempercayai atau sebaliknya, menolak keputusan formal itu.
Banyak kita ketahui dan rasakan, dalam menyelesaikan persoalan pendidikan juga ditempuh dengan pendekatan formal. Contoh yang paling mudah, kita lihat terkait dengan penjejangan pendidikan. Selama ini, dikenal ada jenjang sekolah dasar dan menengah, serta perguruan tinggi. Jenjang sekolah dasar dan menengah dibagi mulai dari SD, SMP, dan SMA. Sedangkan penjejengan di perguruan tinggi ada S1, S2, S3. Selain itu, masih ada jenjang yang lebih menekankan pada aspek profesionalitas, yaitu D1, D2,m D3, dan D4.
Berbagai jenjang lembaga pendidikan tersebut, agar diakui secara umum maka diberlakukan syarat formal, misalnya lama belajar di SD adalah 6 tahun, SMP dan SMA masing-masing selama 3 tahun, S1 selama 4 tahun, S2 ditempuh dua tahun dan S3 selama empat tahun. Selain itu juga dipersyarkan terkait kurikulum yang digunakan, tenaga pengajar, evaluasi, dan seterusnya. Tatkala semua persyaratan formal itu telah dipenuhi, maka penyelenggaraan pendidikan itu dinyatakan sah dan diakui melalui surat resmi atau formal dari pihak yang berwenang.
Demikian pula sejak beberapa tahun terakhir ini, pemerintah sebagai upayanya dalam meningkatkan kualitas pendidikan telah memperlakukan sertifikasi terhadap semua guru atau tenaga pengajar di semua jenjang pendidikan. Kemampuan dan kecakapan guru dinilai kembali dengan menggunakan pedoman yng dibuatnya secara formal. Bagi mereka yang telah dianggap cukup kemampuan dan kecakapannya, maka diberikan serfikat sebagai pengakuan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi syarat disebut sebagai guru profesional.
Sedangkan bagi para guru yang dipandang belum memenuhi kriteria yang ditentukan, maka diberikan kursus dalam waktu tertentu. Hak dan kewenangan memberi kursus diserahkan kepada perguruan tinggi terpilih. Tidak semua perguruan tinggi berkewenangan menunaikan tugas itu. Selanjutnya, agar diakui dan dianggap sah, maka hak dan kewenangan itu juga diformalkan. Demikian pula, para pemberi kursus, waktu yang digunakan, hingga bahan kursus yang diberikan, semuanya diukur dengan standar tertentu.
Semua hal terkait dengan program pendidikan untuk melayani khalayak umum diformalkan dengan maksud agar menjadi diakui dan dianggap sah. Demikian pula, terkait program sertifikasi, para guru yang telah mengikuti penataran atau kursus dalam waktu tertentu, maka kemampuan profesionalnya dianggap mencukupi. Akhirnya, guru yang bersangkutan telah disebut sebagai pendidik profesional dan berhal memperoleh tunjangan profesional pula.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan pendekatan formal sebagaimana dimaksudkan itu, menjadikan kualitas yang diinginkan benar-benar telah tercapai. Atau, apakah lulusan S1, S2, S3 dan juga para guru atau dosen yang telah ditingkatkan dan dinilai kemampuannya melalui proses yang telah ditentukan memenuhi harapan yang sebenarnya, tentu tidak mudah dijawabnya. Munculnya istilah sekolah dan bahkan perguruan tinggi abal-anal, ijazah dan gelar akademik palsu, dan seterusnya, adalah karena pengertian pendidikan oleh kalangan tertentu dimaknai sebatas dari aspek formalnya itu.
Sebagai salah satu akibat dari cara berpikir formal itu, maka di mana-mana banyak orang menyelenggarakan lembaga pendidikan, dan bahkan hingga perguruan tinggi. Buahnya, banyak orang bergelar akademik, tetapi tidak pernah melakukan kegiatan atau apalagi berprestasi akademik. Orang yang dimaksudkan itu memiliki gelar akademik terlalu panjang, karena jumlahnya memang banyak, tetapi pada diri yang bersangkutan tidak tergambar ilmu yang disandangnya. Mereka telah kuliah dan lulus di perguruan tinggi tetapi sebatas formalnya saja. Perkuliahan yang diikuti hanya pada hari Sabtu dan minggu, jarak jauh, klas cabang, klas eksekutif, dan atau berbagai sebutan lainnya.
Mengamati hal tersebut, dapat ditangkap bahwa menyelesaikan persoalan manusia ternyata selalu tidak mudah. Pendekatan formal di dalam organisasi, ���tidak terkecuali organisasi pendidikan, dimaksudkan agar ada kepastian sehingga siapa saja dapat menjadikan pegangan, tetapi pada kenyataannya tidak sedikit orang yang hanya mengambil formalitasnya belaka. Sementara orang dalam meraih sesuatu menempuh jalan pintas, atau sebatas mengedepankan kulit, wadah, atau tempat dibanding isi atau substansinya. Akhirnya masyarakat menjadi terugikan karenanya. Itulah sebabnya, Islam sebagai agama yang selalu berorientasi menyelamatkan terhadap semuanya, mengajarkan bahwa dalam melihat apa saja, tidak terkecuali pendidikan, tidak cukup dari aspek yang tampak, atau dari aspek formalnya, melainkan seharusnya dari niat atau suara hati orang yang mengerjakannya. Wallahu a�lam -
Banyak kita ketahui dan rasakan, dalam menyelesaikan persoalan pendidikan juga ditempuh dengan pendekatan formal. Contoh yang paling mudah, kita lihat terkait dengan penjejangan pendidikan. Selama ini, dikenal ada jenjang sekolah dasar dan menengah, serta perguruan tinggi. Jenjang sekolah dasar dan menengah dibagi mulai dari SD, SMP, dan SMA. Sedangkan penjejengan di perguruan tinggi ada S1, S2, S3. Selain itu, masih ada jenjang yang lebih menekankan pada aspek profesionalitas, yaitu D1, D2,m D3, dan D4.
Berbagai jenjang lembaga pendidikan tersebut, agar diakui secara umum maka diberlakukan syarat formal, misalnya lama belajar di SD adalah 6 tahun, SMP dan SMA masing-masing selama 3 tahun, S1 selama 4 tahun, S2 ditempuh dua tahun dan S3 selama empat tahun. Selain itu juga dipersyarkan terkait kurikulum yang digunakan, tenaga pengajar, evaluasi, dan seterusnya. Tatkala semua persyaratan formal itu telah dipenuhi, maka penyelenggaraan pendidikan itu dinyatakan sah dan diakui melalui surat resmi atau formal dari pihak yang berwenang.
Demikian pula sejak beberapa tahun terakhir ini, pemerintah sebagai upayanya dalam meningkatkan kualitas pendidikan telah memperlakukan sertifikasi terhadap semua guru atau tenaga pengajar di semua jenjang pendidikan. Kemampuan dan kecakapan guru dinilai kembali dengan menggunakan pedoman yng dibuatnya secara formal. Bagi mereka yang telah dianggap cukup kemampuan dan kecakapannya, maka diberikan serfikat sebagai pengakuan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi syarat disebut sebagai guru profesional.
Sedangkan bagi para guru yang dipandang belum memenuhi kriteria yang ditentukan, maka diberikan kursus dalam waktu tertentu. Hak dan kewenangan memberi kursus diserahkan kepada perguruan tinggi terpilih. Tidak semua perguruan tinggi berkewenangan menunaikan tugas itu. Selanjutnya, agar diakui dan dianggap sah, maka hak dan kewenangan itu juga diformalkan. Demikian pula, para pemberi kursus, waktu yang digunakan, hingga bahan kursus yang diberikan, semuanya diukur dengan standar tertentu.
Semua hal terkait dengan program pendidikan untuk melayani khalayak umum diformalkan dengan maksud agar menjadi diakui dan dianggap sah. Demikian pula, terkait program sertifikasi, para guru yang telah mengikuti penataran atau kursus dalam waktu tertentu, maka kemampuan profesionalnya dianggap mencukupi. Akhirnya, guru yang bersangkutan telah disebut sebagai pendidik profesional dan berhal memperoleh tunjangan profesional pula.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan pendekatan formal sebagaimana dimaksudkan itu, menjadikan kualitas yang diinginkan benar-benar telah tercapai. Atau, apakah lulusan S1, S2, S3 dan juga para guru atau dosen yang telah ditingkatkan dan dinilai kemampuannya melalui proses yang telah ditentukan memenuhi harapan yang sebenarnya, tentu tidak mudah dijawabnya. Munculnya istilah sekolah dan bahkan perguruan tinggi abal-anal, ijazah dan gelar akademik palsu, dan seterusnya, adalah karena pengertian pendidikan oleh kalangan tertentu dimaknai sebatas dari aspek formalnya itu.
Sebagai salah satu akibat dari cara berpikir formal itu, maka di mana-mana banyak orang menyelenggarakan lembaga pendidikan, dan bahkan hingga perguruan tinggi. Buahnya, banyak orang bergelar akademik, tetapi tidak pernah melakukan kegiatan atau apalagi berprestasi akademik. Orang yang dimaksudkan itu memiliki gelar akademik terlalu panjang, karena jumlahnya memang banyak, tetapi pada diri yang bersangkutan tidak tergambar ilmu yang disandangnya. Mereka telah kuliah dan lulus di perguruan tinggi tetapi sebatas formalnya saja. Perkuliahan yang diikuti hanya pada hari Sabtu dan minggu, jarak jauh, klas cabang, klas eksekutif, dan atau berbagai sebutan lainnya.
Mengamati hal tersebut, dapat ditangkap bahwa menyelesaikan persoalan manusia ternyata selalu tidak mudah. Pendekatan formal di dalam organisasi, ���tidak terkecuali organisasi pendidikan, dimaksudkan agar ada kepastian sehingga siapa saja dapat menjadikan pegangan, tetapi pada kenyataannya tidak sedikit orang yang hanya mengambil formalitasnya belaka. Sementara orang dalam meraih sesuatu menempuh jalan pintas, atau sebatas mengedepankan kulit, wadah, atau tempat dibanding isi atau substansinya. Akhirnya masyarakat menjadi terugikan karenanya. Itulah sebabnya, Islam sebagai agama yang selalu berorientasi menyelamatkan terhadap semuanya, mengajarkan bahwa dalam melihat apa saja, tidak terkecuali pendidikan, tidak cukup dari aspek yang tampak, atau dari aspek formalnya, melainkan seharusnya dari niat atau suara hati orang yang mengerjakannya. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com