Pada akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang hukuman kebiri. Munculnya isu tersebut rupanya dipicu oleh semakin banyaknnya kasus pemerkosaan dan juga penyimpangan seks terutama di kalangan anak-anak. Maksudnya, lewat hukuman berat seperti itu diharapkan membuahkan efek jera. Orang tidak lagi sembrono melampiaskan nafsu birahinya dengan cara sembarangan.
Istilah kebiri mengingatkan pada apa yang dilakukan oleh para petani di pedesaan terhadap ternaknya. Agar kerbau atau sapi piaraannya menjadi semakin perkasa sehingga lebih kuat ketika digunakan membajak di sawah atau di kebun, maka binatang itu dikebiri. Biasanya, kerbau yang dikebiri, badannya menjadi lebih kuat untuk menarik bajak. Tentu setelah zaman modern seperti sekarang ini, para petani tidak lagi mempekerjakan kerbau. Untuk mengolah kebun atau sawahnya, mereka sudah beralih menggunakan mesin.
Namun agaknya aneh dan berbeda, jika kerbau atau sapi dikebiri agar badannya semakin kuat, tetapi untuk manusia, hal itu dilakukan agar orang menjadi jera melakukan seks sembarangan. Sekalipun berita itu kedengaran agak lucu, akan menjadi semakin aneh sekiranya nanti jika yang tertangkap adalah orang yang menyuarakan perlunya hukuman kebiri itu. Umpama hal itu benar-benar terjadi, maka artinya, senjata makan tuan.
Penyimpangan seks tidak saja dilakukan oleh masyarakat bawah, tetapi juga mungkin dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan atau kelas apa saja. Umpama seseorang yang sudah memiliki nama di tengah masyarakat, namun kemudian terbukti melakukan penyimpangan seksual, dan apalagi memperkosa misalnya, maka hukuman itu akan dirasakan amat berat, baik secara psikologis maupun sosialnya.
Seseorang yang telah dikebiri akan diketahui oleh banyak orang hingga selama-lamanya. Yang bersangkutan akan menderita dan menjadi bahan tertawaan sepanjang hidupnya. Hukuman dimaksud juga akan dirasakan lebih berat dibanding jenis hukuman kurungan dan bahkan juga hukuman mati sekalipun. Bagi orang yang dihukum mati, setelah digantung atau ditembak, yang bersangkutan sudah tidak akan merasakan penderitaannya lagi. Berbeda dengan hukuman kebiri, sepanjang hidupnya hukuman itu masih tetap akan dirasakan.
Namun umpama saja orang yang dikebiri, pada akhirnya berperilaku menjadi semakin lebih baik dibanding orang yang tidak dikebiri, maka kebiri bukan lagi menjadi hukuman, melainkan akan dijadikan sebagai cara untuk memperbaiki perilaku orang. Agar perilaku seseorang menjadi baik, maka seharusnya dikebiri. Sama dengan sapi atau kerbau, agar memiliki kekuatan lebih, maka harus dikebiri. Akhirnya menjadi aneh.
Sebenarnya, jika kita semua memahami watak dasar perilaku manusia, maka tidak perlu ada hukuman yang melampaui batas. Setiap manusia memang memiliki watak berlebih-lebihan di dalam memenuhi nafsunya, tidak terkecuali nafsu seksualnya. Bahkan, manusia juga ingkar terhadap asal kejadiannya dan bahkan terhadap Tuhannya. Hal demikian itu terjadi oleh karena pada hati manusia terdapat penyakit, dan Tuhan menambahkan penyakitnya itu. Itulah sebabnya, manusia memiliki penyakit hati, sehingga akhirnya menjadi sombong, congkak, hasut-menghasut, suka bermusuhan, saling memfitnah, dan seterusnya.
Untuk menghindar dari penyakit itu, Tuhan telah memberikan petunjuk, misalnya seseorang harus selalu mengingat Tuhan, menjalankan shalat lima waktu sehari semalam, mengeluarkan zakat, menunaikan puasa, berhaji, dan senantiasa mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mungkin saja, setelah seseorang dikebiri, maka nafsu seksnya hilang, akan tetapi jenis kejahatan lainnya, sebagai pelampiasan dari penderitaan batinnya, akan semakin besar dan banyak dilakukan.
Berbagai jenis penyimpangan tersebut, sebenarnya bersumber dari nafsu yang ada pada diri seseorang. Maka sebenarnya yang salah bukan alat vitalnya, sehingga harus dirusak, melainkan hati yang bersangkutan sedang sakit atau bahkan mati. Oleh karena itu, untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan seks sembarangan atau memperkosa, maka sebenarnya masih ada cara yang bersifat prefentif, yaitu menjadikan hati setiap orang tetap sehat. Cara itu pasti murah dan mudah. Betapapun, manakala hati seseorang bersih, sehat, dan baik, pasti tidak akan melampiaskan nafsu seksnya secara sembarangan. Dengan demikian, hukuman kebiri menjadi tidak perlu. Wallahu a�lam -
Istilah kebiri mengingatkan pada apa yang dilakukan oleh para petani di pedesaan terhadap ternaknya. Agar kerbau atau sapi piaraannya menjadi semakin perkasa sehingga lebih kuat ketika digunakan membajak di sawah atau di kebun, maka binatang itu dikebiri. Biasanya, kerbau yang dikebiri, badannya menjadi lebih kuat untuk menarik bajak. Tentu setelah zaman modern seperti sekarang ini, para petani tidak lagi mempekerjakan kerbau. Untuk mengolah kebun atau sawahnya, mereka sudah beralih menggunakan mesin.
Namun agaknya aneh dan berbeda, jika kerbau atau sapi dikebiri agar badannya semakin kuat, tetapi untuk manusia, hal itu dilakukan agar orang menjadi jera melakukan seks sembarangan. Sekalipun berita itu kedengaran agak lucu, akan menjadi semakin aneh sekiranya nanti jika yang tertangkap adalah orang yang menyuarakan perlunya hukuman kebiri itu. Umpama hal itu benar-benar terjadi, maka artinya, senjata makan tuan.
Penyimpangan seks tidak saja dilakukan oleh masyarakat bawah, tetapi juga mungkin dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan atau kelas apa saja. Umpama seseorang yang sudah memiliki nama di tengah masyarakat, namun kemudian terbukti melakukan penyimpangan seksual, dan apalagi memperkosa misalnya, maka hukuman itu akan dirasakan amat berat, baik secara psikologis maupun sosialnya.
Seseorang yang telah dikebiri akan diketahui oleh banyak orang hingga selama-lamanya. Yang bersangkutan akan menderita dan menjadi bahan tertawaan sepanjang hidupnya. Hukuman dimaksud juga akan dirasakan lebih berat dibanding jenis hukuman kurungan dan bahkan juga hukuman mati sekalipun. Bagi orang yang dihukum mati, setelah digantung atau ditembak, yang bersangkutan sudah tidak akan merasakan penderitaannya lagi. Berbeda dengan hukuman kebiri, sepanjang hidupnya hukuman itu masih tetap akan dirasakan.
Namun umpama saja orang yang dikebiri, pada akhirnya berperilaku menjadi semakin lebih baik dibanding orang yang tidak dikebiri, maka kebiri bukan lagi menjadi hukuman, melainkan akan dijadikan sebagai cara untuk memperbaiki perilaku orang. Agar perilaku seseorang menjadi baik, maka seharusnya dikebiri. Sama dengan sapi atau kerbau, agar memiliki kekuatan lebih, maka harus dikebiri. Akhirnya menjadi aneh.
Sebenarnya, jika kita semua memahami watak dasar perilaku manusia, maka tidak perlu ada hukuman yang melampaui batas. Setiap manusia memang memiliki watak berlebih-lebihan di dalam memenuhi nafsunya, tidak terkecuali nafsu seksualnya. Bahkan, manusia juga ingkar terhadap asal kejadiannya dan bahkan terhadap Tuhannya. Hal demikian itu terjadi oleh karena pada hati manusia terdapat penyakit, dan Tuhan menambahkan penyakitnya itu. Itulah sebabnya, manusia memiliki penyakit hati, sehingga akhirnya menjadi sombong, congkak, hasut-menghasut, suka bermusuhan, saling memfitnah, dan seterusnya.
Untuk menghindar dari penyakit itu, Tuhan telah memberikan petunjuk, misalnya seseorang harus selalu mengingat Tuhan, menjalankan shalat lima waktu sehari semalam, mengeluarkan zakat, menunaikan puasa, berhaji, dan senantiasa mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mungkin saja, setelah seseorang dikebiri, maka nafsu seksnya hilang, akan tetapi jenis kejahatan lainnya, sebagai pelampiasan dari penderitaan batinnya, akan semakin besar dan banyak dilakukan.
Berbagai jenis penyimpangan tersebut, sebenarnya bersumber dari nafsu yang ada pada diri seseorang. Maka sebenarnya yang salah bukan alat vitalnya, sehingga harus dirusak, melainkan hati yang bersangkutan sedang sakit atau bahkan mati. Oleh karena itu, untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan seks sembarangan atau memperkosa, maka sebenarnya masih ada cara yang bersifat prefentif, yaitu menjadikan hati setiap orang tetap sehat. Cara itu pasti murah dan mudah. Betapapun, manakala hati seseorang bersih, sehat, dan baik, pasti tidak akan melampiaskan nafsu seksnya secara sembarangan. Dengan demikian, hukuman kebiri menjadi tidak perlu. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com