Semakin banyaknya orang pintar dan cerdas, maka orang semakin bervariatif, termasuk cara berpikir dan bahkan dalam memahami agamanya, yaitu Islam misalnya. Pada zaman Nabi, Islam itu ya Islam. Tidak ada Islam dengan label bermacam-macam. Umpama ketika itu ada Islam yang bermacam-macam, seperti yang terjadi sekarang, maka Nabi akan segera mempersatukannya. Islam adalah satu, dan bahkan dengan kehadiran agama ini agar umat manusia bersatu dan bukan sebaliknya.
Adanya bermacam-macam kelompok Islam itu memang pada satu sisi menjadi indah, tampak berwarna warni. Selain itu, dengan berbagai kelompok itu, maka akan terjadi saling berkompetisi hingga membuahkan dinamika yang diperlukan dalam kehidupan bersama. Kita melihat misalnya, di negeri ini dengan adanya NU dan Muhammadiyah saja, maka tumbuh berbagai jenis lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat ibadah, dan lain-lain dalam jumlah yang amat banyak. Belum lagi yang lain, yaitu misalnya al wasliyah, Tarbiyah Islamiyah, Persis, Al Irsyad, Hidayatullah, dan sebagainya.
Namun juga dengan berbedaan itu akan muncul suasana batin yang berlebihan, atau katakanlah saling tidak menyenangi. Misalnya adanya kelompok Wahabi, Syi�ah, Hisbut Tahrir, dan semacamnya, maka kelompok lainnya merasa terganggu. Munculnya nama-nama aliran, organisasi, atau madzhab itu, maka tumbuh kecurigaan, rasa tidak senang, dan bahkan juga permusuhan. Seolah-olah umat Islam menjadi sangat sulit untuk bersatu, padahal kehadiran Islam itu sendiri sebenarnya, sebagaimana disebutkan di muka, adalah untuk menyatukan umat manusia.
Persoalan yang ditimbulkan dari adanya perbedaan tersebut ternyata bukan sederhana, tetapi sangat serius. Di antara intern umat Islam sendiri bisa berhadap-hadapan oleh karena perbedaan tersebut. Paling tidak sillaturrahmi menjadi terputus. Antar kelompok yang berbeda, sekalipun sesama Islam, saling menjaga jarak dan merasa berlainan. Jangankan menghargai dan melakukan kerjasama, saling mengenal saja di antara masing-masing kelompom tidak mudah dilakukan.
Resiko dari adanya perbedaan itu sebenarnya telah disadari tidak mengenakkan. Akan tetapi keluar dari persoalan tersebut rupanya belum ada jalan yang secara efektif bisa dilalui. Semua pihak ingin memperoleh pengakuan bahwa dirinya adalah yang benar. Perasaan yang demikian itulah yang menjadi penghalang untuk bersatu. Menyatakan bahwa dirinya benar tanpa menyalahkan pihak lain ternyata bukan perkara mudah.
Di tengah-tengah perbedaan itu sebenarnya masih ada beberapa hal yang sama, yaitu misalnya menyangkut konsep tentang Tuhan, kitab suci, Rasul, kiblat, dan tentu adalah tentang tujuan akhir keberagamaan itu sendiri. Hal yang disebutkan terakhir, yakni tujuan keberagamaan adalah untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akherat. Siapapun dalam beragama adalah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup itu.
Selain itu dalam beragama juga diajarkan tentang kasih sayang, persatuan, saling mengenal, memahami, menghormati antar sesama, dan tolong menolong. Dalam ajaran agama tidak boleh di antara sesama saling bermusuhan, hasut-menghasut, saling memfitnah, mengadu domba, dan apalagi saling bunuh membunuh. Islam adalah agama kedamaian, keselamatan, dan kasih sayang.
Menyadari adanya berbagai macam kelompok, aliran, dan madzhab dengan berbagai resikonya itu, maka perlu dicari kembali dan atau dipertegas hakekat dari beragama itu sendiri. Manakala hakekat yang dimaksudkan itu sudah ditemukan bersama, sekalipun hal lain misalnya menyangkut syari�atnya berbeda, maka sesama muslim akan saling memahami dan akhirnya bersatu. Berbicara tentang perbedaan itu, saya teringat rumusan yang berhasil dibuat oleh Prof. Sangidu, Guru Besar Universitas Gajah Mada, tatkala beliau menulis disertasi, adalah terasa menarik.
Untuk memahami agama, Prof. Sangidu menjadikan buah kelapa sebagai alat untuk menjelaskannya. Buah kelapa terdiri atas sepet, tempurung, kelapa, dan santannya. Tatkala seseorang mencari kelapa, maka sebenarnya yang benar-benar diperlukan adalah santannya. Bukan berarti bahwa sepet, tempurung, dan kelapa yang berwarna putih itu tidak perlu atau tidak penting. Semua adalah sangat penting. Tanpa sepet, tempurung, dan buah kelapa, maka tidak akan diperoleh santan yang memang diperlukan itu.
Dalam memahami agama, sepet diumpamakan sebagai syari�at, tempurung diumpamakan sebagai thariqoh, kelapa yang berwarna putih adalah hakekatnya, sedangkan santen adalah makrifat. Seseorang dalam beragama adalah ingin sampai pada makrifat kepada Allah agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan itu. Melalui perumpamaan itu, umpama di dalam beragama, semua orang berusaha mendapatkan substansinya, yakni makrifat, maka persatuan yang sebenarnya sangat indah itu akan berhasil diwujudkan. Dengan demikian, Islam, apa boleh buat berwarna warni, tetapi tetap saja, ialah Islam yang indah oleh karena bersatu. Wallahu a�lam
- Sumber imamsuprayogo.com
Adanya bermacam-macam kelompok Islam itu memang pada satu sisi menjadi indah, tampak berwarna warni. Selain itu, dengan berbagai kelompok itu, maka akan terjadi saling berkompetisi hingga membuahkan dinamika yang diperlukan dalam kehidupan bersama. Kita melihat misalnya, di negeri ini dengan adanya NU dan Muhammadiyah saja, maka tumbuh berbagai jenis lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat ibadah, dan lain-lain dalam jumlah yang amat banyak. Belum lagi yang lain, yaitu misalnya al wasliyah, Tarbiyah Islamiyah, Persis, Al Irsyad, Hidayatullah, dan sebagainya.
Namun juga dengan berbedaan itu akan muncul suasana batin yang berlebihan, atau katakanlah saling tidak menyenangi. Misalnya adanya kelompok Wahabi, Syi�ah, Hisbut Tahrir, dan semacamnya, maka kelompok lainnya merasa terganggu. Munculnya nama-nama aliran, organisasi, atau madzhab itu, maka tumbuh kecurigaan, rasa tidak senang, dan bahkan juga permusuhan. Seolah-olah umat Islam menjadi sangat sulit untuk bersatu, padahal kehadiran Islam itu sendiri sebenarnya, sebagaimana disebutkan di muka, adalah untuk menyatukan umat manusia.
Persoalan yang ditimbulkan dari adanya perbedaan tersebut ternyata bukan sederhana, tetapi sangat serius. Di antara intern umat Islam sendiri bisa berhadap-hadapan oleh karena perbedaan tersebut. Paling tidak sillaturrahmi menjadi terputus. Antar kelompok yang berbeda, sekalipun sesama Islam, saling menjaga jarak dan merasa berlainan. Jangankan menghargai dan melakukan kerjasama, saling mengenal saja di antara masing-masing kelompom tidak mudah dilakukan.
Resiko dari adanya perbedaan itu sebenarnya telah disadari tidak mengenakkan. Akan tetapi keluar dari persoalan tersebut rupanya belum ada jalan yang secara efektif bisa dilalui. Semua pihak ingin memperoleh pengakuan bahwa dirinya adalah yang benar. Perasaan yang demikian itulah yang menjadi penghalang untuk bersatu. Menyatakan bahwa dirinya benar tanpa menyalahkan pihak lain ternyata bukan perkara mudah.
Di tengah-tengah perbedaan itu sebenarnya masih ada beberapa hal yang sama, yaitu misalnya menyangkut konsep tentang Tuhan, kitab suci, Rasul, kiblat, dan tentu adalah tentang tujuan akhir keberagamaan itu sendiri. Hal yang disebutkan terakhir, yakni tujuan keberagamaan adalah untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akherat. Siapapun dalam beragama adalah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup itu.
Selain itu dalam beragama juga diajarkan tentang kasih sayang, persatuan, saling mengenal, memahami, menghormati antar sesama, dan tolong menolong. Dalam ajaran agama tidak boleh di antara sesama saling bermusuhan, hasut-menghasut, saling memfitnah, mengadu domba, dan apalagi saling bunuh membunuh. Islam adalah agama kedamaian, keselamatan, dan kasih sayang.
Menyadari adanya berbagai macam kelompok, aliran, dan madzhab dengan berbagai resikonya itu, maka perlu dicari kembali dan atau dipertegas hakekat dari beragama itu sendiri. Manakala hakekat yang dimaksudkan itu sudah ditemukan bersama, sekalipun hal lain misalnya menyangkut syari�atnya berbeda, maka sesama muslim akan saling memahami dan akhirnya bersatu. Berbicara tentang perbedaan itu, saya teringat rumusan yang berhasil dibuat oleh Prof. Sangidu, Guru Besar Universitas Gajah Mada, tatkala beliau menulis disertasi, adalah terasa menarik.
Untuk memahami agama, Prof. Sangidu menjadikan buah kelapa sebagai alat untuk menjelaskannya. Buah kelapa terdiri atas sepet, tempurung, kelapa, dan santannya. Tatkala seseorang mencari kelapa, maka sebenarnya yang benar-benar diperlukan adalah santannya. Bukan berarti bahwa sepet, tempurung, dan kelapa yang berwarna putih itu tidak perlu atau tidak penting. Semua adalah sangat penting. Tanpa sepet, tempurung, dan buah kelapa, maka tidak akan diperoleh santan yang memang diperlukan itu.
Dalam memahami agama, sepet diumpamakan sebagai syari�at, tempurung diumpamakan sebagai thariqoh, kelapa yang berwarna putih adalah hakekatnya, sedangkan santen adalah makrifat. Seseorang dalam beragama adalah ingin sampai pada makrifat kepada Allah agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan itu. Melalui perumpamaan itu, umpama di dalam beragama, semua orang berusaha mendapatkan substansinya, yakni makrifat, maka persatuan yang sebenarnya sangat indah itu akan berhasil diwujudkan. Dengan demikian, Islam, apa boleh buat berwarna warni, tetapi tetap saja, ialah Islam yang indah oleh karena bersatu. Wallahu a�lam
- Sumber imamsuprayogo.com