Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof Imam Suprayogo : Janganlah Berilmu Bagaikan Air di Atas Daun Talas

Jumat, 20 Mei 2016 | 07.30 WIB Last Updated 2016-05-20T00:30:09Z
Ilmu harus masuk ke dalam dada atau hati masing-masing orang. Jangan sampai ilmu hanya masuk ke telinga, dan kemudian nyampai di otak. Ilmu yang posisinya hanya demikian itu, maka akan cepat hilang. Ilmu sebagaimana digambarkan itu hanya akan menyerupai air di atas daun talas. Air itu tidak akan membasahi daun tanaman yang menghasilkan mbothe dan banyak ditanam di pedesaan.

Menguasai ilmu yang hanya bagaikan air di atas daun talas, atau pada saat sekarang ini juga bisa berupa plastik, maka artinya ilmu itu tidak berhasil dikuasai sepenuhnya. Seseorang pernah mendengar, pernah menghafalkan, dan mungkin berhasil mengertahui ilmu dimaksud, tetapi tidak sampai menjiwai hingga relung hati atau dadanya. Ilmu yang dimaksudkan itu belum berhasil menggerakkan hati pemiliknya untuk mengembangkan lebih lanjut, menumbuhkan rasa percaya diri, dan apalagi memanfaatkannya.

Sekarang ini banyak orang memegang ijazah tinggi, atau bergelar akademik puncak, tetapi ilmu yang digambarkan di dalam ijazahnya itu belum tampak sempurna. Banyak sarjana di berbagai bidang, tetapi belum berhasil menampakkan keahliannya. Mengaku sebagai seorang sarjana agama, tetapi belum berhasil menjelaskan kitab suci agama dimaksud. Mengaku sarjana pertanian, tetapi belum merasa resah ketika negerinya masih mengimpor hasil pertanian. Mengaku sarjana pertanian, tetapi tidak peduli tatkala mendengar di tengah masyarakat terjadi kelangkaan daging, dan seterusnya.

Di tengah keadaan yang memprihatinkan tersebut, ternyata tidak banyak muncul inisiatif untuk memperbaikinya. Sebaliknya, yang terjadi adalah justru menambah jumlah lembaga pendidikan tinggi yang meluluskan sarjana yang ilmunya bagaikan air di atas daun talas. Akibatnya, banyak sarjana menganggur. Mencari sarjana hingga di pedesaan sama mudahnya dengan mencari orang yang tidak bersekolah, artinya sudah sedemikian banyak. Akibatnya, gelar sarjana di tengah masyarakat tidak terlalu dihargai oleh karena mereka belum tentu memampu menyelesaikan masalah, termasuk masalahnya sendiri.

Persoalan tersebut seharusnya secara bersama-sama segera dipahami dan dicari jalan pemecahannya. Membiarkannya sama artinya dengan menunggu bom waktu. Pada saatnya orang tidak percaya lagi pada lembaga pendidikan, tidak terkecuali lembaga pendidikan yang mencetak para sarjana. Lembaga pendidikan diharapkan mampu memecahkan masalah, dan tidak justru menjadi sumber masalah. Seharusnya, sebagai seorang sarjana mampu mengabdikan dirinya pada masyarakat, dan bukan menjadi beban masyarakat.

Mungkin yang perlu dipahami dan disadari adalah bahwa menguasai ilmu pengetahuan tidak cukup hanya ditempuh lewat cara mendengarkan dari seorang guru atau dosen di dalam kelas atau ruang kuliah. Lebih tidak cukup lagi, jika hal itu ditempuh hanya dengan sekedar ikut-ikutan, yaitu ikut mendaftar, ikut duduk di kelas, ikut ujian, dan akhirnya ikut wisuda. Mereka yang mencari ilmu dengan cara seperti digambarkan itu, sebenarnya bisa lulus, dan selanjutnya mendapatkan ijazah dan gelar. Tetapi ilmu yang diperoleh, akan bagaikan air di atas daun talas.

Terkait upaya mendapatkan ilmu, kiranya perlu melihat cara yang dilakukan oleh kebayakan pesantren salaf. Sebelum memulai belajar, para santri diwajibkan mempelajari kitab berukuran kecil, yakni berjudul ta�lim muta�allim. Melalui kitab itu dijelaskan di antaranya tentang adab atau tata cara mendapatkan ilmu pengetahuan. Selain itu juga tentang bagaimana seharusnya seorang murid dalam memandang guru, memperlakukan ilmu, dan tidak terkecuali adalah memperteguh niat. Di pesantren salaf, para santri tidak hanya mendaftar, mengikuti kegiatan belajar yang disebut dengan istilah mengaji, dan semacamnya, tetapi yang bersangkutan juga harus memiliki niat yang teguh, tulus, dan kukuh.

Para santri yang belajar di pesantren tidak ingin memperoleh ijazah atau gelar, tetapi untuk memperoleh ilmu dari sang guru atau kyainya. Dengan cara itu, ternyata banyak ditemukan santri yang setelah lulus mereka mampu membaca dan memahami kitab-kitab berbahasa Arab, mampu memimpin kehidupan keagamaan, dan juga menyandang kelebihan-kelebihan lainnya. Memang, secatra jujur harus diakui, bahwa pendidikan pesantren juga masih menyandang kelemahan, tetapi ilmu yang diperoleh para santri, umumnya tidak bagaikan air di atas daun talas. Setelah lulus, pada umumnya mereka mampu menunjukkan jati dirinya, bahwa yang bersangkutan adalah lulusan pesantren. Wallahu a�lam

- Sumber: imamsuprayogo.com
×
Berita Terbaru Update