Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof Imam Suprayogo : Perguruan Tinggi Islam Dan Lokomotif Perubahan

Jumat, 20 Mei 2016 | 10.28 WIB Last Updated 2016-05-20T03:29:18Z
Sekarang ini jumlah perguruan tinggi Islam cukup banyak. Jika belum bertambah, yang berstatus negeri ada 55 buah, sedangkan yang berstatus swasta jauh lebih banyak lagi, yaitu lebih dari 600 buah. Sehari-hari perguruan tinggi Islam mengkaji al Qur�an, hadits Nabi, dan juga ilmu-ilmu modern, seperti ilmu pendidikan, ekonomi, hukum, pendidikan, bahasa dan sastra, bahkan kedokteran, dan lain-lain. Apa yang ingin diraih dari keberadaan perguruan tinggoi Islam cukup jelas dan ideal, yaitu melahirkan sosok ulama yang sekaligus intelek dan atau intelek dan sekaligus ulama.

Dilihat dari sumber ilmunya, perguruan tinggi Islam lebih komplit, yaitu ayat-ayat qawliyah dan sekaligus ayat-ayat kawniyah. Melalui pendekatan ini, sarjana yang dihasilkan dari perguruan tinggi Islam dalam hal mencari kebenaran selalu merujuk pada al Qur�an dan hadits nabi dan juga sekaligus mendasarkan pada hasil observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis. Maka seharusnya, siapapun yang melakukan kajian di perguruan tinggi Islam, memiliki kelebihan dibanding dari yang lain.

Namun sayangnya, kelebihan yang bersifat konseptual itu ternyata belum tampak pada kenyataan hidup sehari-hari di lapangan. Bahkan sebaliknya, perguruan tinggi Islam oleh sementara kalangan disebut masih berada di belakang. Dalam berbagai penilaian, yang dipandang obyektif oleh karena menggunakan berbagai indikator , hasilnya hampir tidak ada perguruan tinggi Islam yang menempati ranking atas. Pada umumnya, perguruan tinggi Islam masih berada pada posisi di bawah, dan bahkan banyak yang tidak masuk di ranking itu.

Menyaksikan kenyataan tersebut, maka pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang akan dibanggakan dari perguruan tinggi Islam itu. Selain itu, apa pula yang salah dari perguruan tinggi Islam hingga belum mampu bersaing dengan perguruan tinggi yang selama ini tidak menggunakan identitas atau nama Islam. Adakah kelemahan mendasar yang dimiliki dan kemudian masih berkemungkinan untuk diperkokoh sehingga kelak bisa mengejar ketertinggalan itu. Beberapa pertanyaan tersebut penting dijawab melalui langkah-langkah nyata dan strategis agar sebagaimana namanya, institusi pendidikan tinggi tersebut benar-benar meraih sebagaimana gambaran yang diedialkan.

Dalam kehidupan ini ternyata tidak semua yang dipandang ideal menjadi sebuah kenyataan yang indah dilihat. Dari tataran ideal, Islam sedemikian indah. Islam mengajarkan kerja keras, selalu memilih sesuatu yang terbaik, memiliki konsep tentang keharusan beramal shaleh, jujur, adil, berpandangan ke depan yang jauh, hemat, bekerjasama, saling menyayangai antar sesama agar melahirkan persatuan dan kebersamaan, dan lain-lain, yang semua itu sebenarnya adalah modal untuk meraih kemajuan dan menjadi yang terbaik.
Umpama saja nilai-nilai yang indah tersebut berhasil diimplementasikan oleh umat Islam sendiri, maka kemajuan akan mudah diraih. Namun pada kenyataannya, di kalangan umat Islam sendiri, nilai-nilai dimaksud masih gagal diimplementasikan. Konflik, perebutan, persaingan yang tidak sehat, kesadaran akan pentingnya mutu dan kualitas atau ikhsan dan beramal shaleh masih sering terlupakan. Tambahan lagi nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, keadilan, kerjasama, dan lain-lain masih sulit dicari dalam kehidupan nyata. Secara jujur bisa dikatakan bahwa identitas Islam belum berhasil menjadi kekuatan pembeda dari yang lain.

Oleh karena itu, manakala perguruan tinggi Islam berkehendak menjadi lokomotif perubahan, maka yang harus diubah pertama kali adalah pada wilayah internal atau dirinya sendiri. Di kalangan perguruan tinggi Islam harus ditumbuhkan kesadaran akan betapa pentingnya perubahan dan kemajuan, dan sebaliknya harus merasa tidak cukup dan atau berhenti pada tahap eksistensi. Di kalangan perguruan tinggi Islam tidak boleh segera puas dan berhenti hanya karena telah ada atau telah berhasil memiliki papan nama besar, sementara itu yang memiliki nama masih kecil. Antara papan nama dan yang memiliki nama harus benar-benar diseimbangkan, artinya sama-sama besarnya.

Sejak lama saya mengemukakan bahwa, membesarkan perguruan tinggi diperlukan orang-orang yang berjiwa, berpikiran, dan berkemauan bekerja besar. Islam sebenarnya telah mengajarkan yang demikian itu, yakni menjadi yang terbaik. Sebagai orang yang memiliki identitas terbaik adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Hanya dengan jiwa dan pikiran seperti itulah maka cita-cita menjadikan perguruan tinggi Islam sebagai lokomotof perubahan akan benar-benar berhasil diwujudkan.

Sebaliknya, jika orang-orang yang ada di perguruan tinggi Islam segera puas dengan apa yang ada, tidak mau melakukan perubahan, menganggap bahwa tugasnya telah berhasil dan selesai, terlalu sibuk melihat ke arah dalam, tidak mau membangun jaringan yang luas, dan tidak mau mengubah kekuatan yang ada pada dirinya, selalu sebatas menjaga apa yang ada atau rutin, maka keinginan maju dan berkembang, hingga kapan pun tidak akan pernah tercapai. Perguruan tinggi Islam yang demikian itu hanya akan berada di belakang, dan tidak akan menjadi lokomotif perubahan, melainkan sebaliknya, justru hanya akan menjadi sasaran untuk diubah oleh kekuatan lainnya. Tentu, umat Islam tidak menginginkan berposisi yang demikian itu.Wallahu a�lam. -

Sumber: Imamsuprayogo.com
×
Berita Terbaru Update