Sudah menjadi hal biasa di mana-mana, kyai dianggap memiliki kearifan yang tinggi. Dalam menjawab persoalan, pengasuh pesantren yang tidak biasa menggunakan pendekatan ilmiah sebagaimana orang perguruan tinggi, justru menarik dan terasa mendalam. Jawaban itu kadang tidak terduga sebelumnya. Akan tetapi terasa mengenai sasaran dan memuaskan. Itulah sebabnya, kyai disebut memiliki kearifan.
Dalam sebuah pengajian, seorang santri menanyakan kepada kyainya tentang siapa sebenarnya setan itu. Pertanyaan itu diajukan dengan sungguh-sungguh dalam arti bukan sekedar untuk menjajagi kedalam ilmu kyainya. Santri yang bersangkutan memang benar-benar tidak paham atas penjelasan yang sering didengarkan bahwa pada setiap bulan Ramadhan, setan-setan diborgol agar tidak menganggu orang berpuasa.
Penjelasan tentang adanya borgol memborgol setan pada Bulan Puasa membuat santri kebingungan memahaminya. Sebab kenyataannya, pada Bulan Ramadhan masih banyak orang berbuat maksiat. Melihat kenyataan itu, santri merasa belum mampu mehami apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh penjelasan tentang setan yang dibelenggu itu.
Dengan keadaan setengah berani dan penuh kekhawatiran, seorang santri menanyakan kepada kyai tentang setan yang dimaksudkan itu. Atas pertanyaan itu, kyai dengan sabar, mau menjelaskannya, tetapi dengan catatan, santrinya tidak boleh tersinggung dan mau menerimanya dengan ikhlas. Sudah barang tentu, bagi seorang santri, apapun penjelasan kyai akan diterimanya. Tidak pernah ada cerita, santri merasa tersinggung oleh karena perkataan kyainya.
Menurut penjelasan kyai, untuk mengetahui bentuk dan rupa setan, tidak sulit. Jika benar-benar mau tahu makhluk itu, santri disarankan pergi ke pasar membeli kaca yang biasa dipakai untuk berhias. Disarankan agar kaca yang akan dibelinya berukuran besar. Semakin lebar kaca yang didapat, maka sosok setan akan semakin kelihatan besar pula. Memperoleh penjelasan itu, santri sama sekali tidak memiliki kecurigaan apa-apa. Maka, besuk harinya, ia pergi ke pasar membeli kaca berukuran besar sebagaimana saran kyai, dan selanjutnya barang itu dipasang di temboh rumahnya.
Pada kesempatan pengajian berikutnya, satri melapor, bahwa ia sudah membeli kaca sebagaimana disarankan kyai. Maka, dalam pengajian itu, kyai menanyakan tentang di mana kaca yang sudah dibelinya diletakkan. Selain itu, kyai juga menanyakan, apakah santri yang bersangkutan sudah memperhatikan gambar yang ada di dalam kaca ketika ia berada di depannya.
Pertanyaan kyai tersebut tentu dijawab, bahwa kaca itu ditaruh di tembok rumahnya, dan apa yang dilihat di dalam kaca adalah gambarnya sendiri. Mendengarkan jawaban itu, kyai segera menjelaskan, bahwa yang gambarnya di dalam kaca itulah sebenarnya setan, tidak lebih dan tidak kurang. Namun mendengar keterangan itu santri tidak marah, sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Kyai mengulang lagi jawabannya, bahwa gambar yang ada di dalam kaca itu sebenarnya yang dimaksud dengan setan itu.
Pengasuh pesantren itu kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya setan itu adalah sifat dan sifat itu ada pada setiap diri manusia. Ketika kita sedang dengki, marah, sombong, hasut, iri hati, bermusuhan, bakhil, tamak, dan seterusnya adalah sedang menyandang sifat setan. Artinya, setan itu berada pada diri kita. Maka, untuk mencari setan tidak perlu pergi jauh-jauh, sebab ada pada diri kita sendiri. Oleh karena itu, ���kata kyai, semestinya pada Bulan Ramadhan, setan tersebut harus kita borgol, agar puasa kita benar-benar sempurna. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com
Dalam sebuah pengajian, seorang santri menanyakan kepada kyainya tentang siapa sebenarnya setan itu. Pertanyaan itu diajukan dengan sungguh-sungguh dalam arti bukan sekedar untuk menjajagi kedalam ilmu kyainya. Santri yang bersangkutan memang benar-benar tidak paham atas penjelasan yang sering didengarkan bahwa pada setiap bulan Ramadhan, setan-setan diborgol agar tidak menganggu orang berpuasa.
Penjelasan tentang adanya borgol memborgol setan pada Bulan Puasa membuat santri kebingungan memahaminya. Sebab kenyataannya, pada Bulan Ramadhan masih banyak orang berbuat maksiat. Melihat kenyataan itu, santri merasa belum mampu mehami apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh penjelasan tentang setan yang dibelenggu itu.
Dengan keadaan setengah berani dan penuh kekhawatiran, seorang santri menanyakan kepada kyai tentang setan yang dimaksudkan itu. Atas pertanyaan itu, kyai dengan sabar, mau menjelaskannya, tetapi dengan catatan, santrinya tidak boleh tersinggung dan mau menerimanya dengan ikhlas. Sudah barang tentu, bagi seorang santri, apapun penjelasan kyai akan diterimanya. Tidak pernah ada cerita, santri merasa tersinggung oleh karena perkataan kyainya.
Menurut penjelasan kyai, untuk mengetahui bentuk dan rupa setan, tidak sulit. Jika benar-benar mau tahu makhluk itu, santri disarankan pergi ke pasar membeli kaca yang biasa dipakai untuk berhias. Disarankan agar kaca yang akan dibelinya berukuran besar. Semakin lebar kaca yang didapat, maka sosok setan akan semakin kelihatan besar pula. Memperoleh penjelasan itu, santri sama sekali tidak memiliki kecurigaan apa-apa. Maka, besuk harinya, ia pergi ke pasar membeli kaca berukuran besar sebagaimana saran kyai, dan selanjutnya barang itu dipasang di temboh rumahnya.
Pada kesempatan pengajian berikutnya, satri melapor, bahwa ia sudah membeli kaca sebagaimana disarankan kyai. Maka, dalam pengajian itu, kyai menanyakan tentang di mana kaca yang sudah dibelinya diletakkan. Selain itu, kyai juga menanyakan, apakah santri yang bersangkutan sudah memperhatikan gambar yang ada di dalam kaca ketika ia berada di depannya.
Pertanyaan kyai tersebut tentu dijawab, bahwa kaca itu ditaruh di tembok rumahnya, dan apa yang dilihat di dalam kaca adalah gambarnya sendiri. Mendengarkan jawaban itu, kyai segera menjelaskan, bahwa yang gambarnya di dalam kaca itulah sebenarnya setan, tidak lebih dan tidak kurang. Namun mendengar keterangan itu santri tidak marah, sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Kyai mengulang lagi jawabannya, bahwa gambar yang ada di dalam kaca itu sebenarnya yang dimaksud dengan setan itu.
Pengasuh pesantren itu kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya setan itu adalah sifat dan sifat itu ada pada setiap diri manusia. Ketika kita sedang dengki, marah, sombong, hasut, iri hati, bermusuhan, bakhil, tamak, dan seterusnya adalah sedang menyandang sifat setan. Artinya, setan itu berada pada diri kita. Maka, untuk mencari setan tidak perlu pergi jauh-jauh, sebab ada pada diri kita sendiri. Oleh karena itu, ���kata kyai, semestinya pada Bulan Ramadhan, setan tersebut harus kita borgol, agar puasa kita benar-benar sempurna. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com