Ibadah di dalam Islam misalnya shalat, zakat, puasa, haji dan
lain-lain diharapkan berdampak pada perilaku bagi yang menjalankannya.
Dengan menjalankan shalat berhasil menjauhkan diri dari perbuatan keji
dan mungkar. Puasa agar mereka yang menjalankannya semakin bertaqwa, dan
demikian pula ibadah haji yang menunaikannya agar semakin dekat pada
Allah dan Rasul-Nya. Di dalam Hadits Nabi dikemukakan bahwa, ia
diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Namun tidak banyak orang melihat dari aspek hasil dari ibadah itu, tetapi lebih memperhatikan cara menjalankannya. Memang cara dimaksud terdapat perbedaan, tetapi sebenarnya juga tidak telalu jauh. Sementara orang menyebutnya hanya dari aspek yang bersifat furu�, yakni cabang. Misalnya, dalam penentuan awal dan akhir ramadhan, sementara menggunakan hisab dan lainnya rukyat. Sebagian menggunakan doa kunut ketika shalat subuh dan lainnya tidak, sebagian shalat tarweh 8 raka�at dan lainnya 20 rakaat, dan semacamnya.
Perbedaan semacam itu sebenarnya sudah muncul sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi ketika terjadi perbedaan, Rasulullah segera menyelesaikan. Contoh yang pernah saya membacanya, bahwa suatu ketika para sahabat berkumpul membicarakan sesuatu. Pada saat datang waktu shalat, oleh karena tidak ada air, mereka bersepakat bertayamum, kemudian shalat berjama�ah. Selang beberapa waktu kemudian, menurut kisah itu, turunlah hujan sehingga terdapat air.
Datangnya air hujan tersebut ternyata menyulut perdebatan di antara para sahabat. Sebagian berpendapat bahwa harus mengambil air wudhu dan shalat kembali, sementara lainnya menganggap tidak perlu lagi. Mereka yang tidak mengulang shalatnya beralasan, sekalipun bersuci hanya dengan tayamum sudah cukup. Namun perbedatan itu ternyata tidak selesai, dan akhirnya sama-sama meminta penjelasan kepada Rasulullah. Mendengarkan adanya pandangan yang berbeda itu, Nabi mengatakan bahwa semuanya benar, baik yang mengulangi shalatnya maupun yang tidak.
Contoh sederhana lainnya, bahwa pada suatu saat, Nabi bersama para sahabatnya pergi ke suatu tempat yang jaraknya agak jauh. Di tengah perjalanan, oleh karena melewati perkampungan Yahudi, dengan maksud agar tidak sama-sama terganggu, Nabi menganjurkan supaya shalat diakhirkan setelah melewati kampung dimaksud. Atas petunjuk Nabi tersebut, sebagian sahabat merasa khawatir kehabisan waktu shalat, sehingga tanpa sepengetahuan Nabi, mereka shalat sendirian. Sementara yang lain, apapun yang terjadi, bersikukuh mengikuti petunjuk Nabi.
Kejadian tersebut dilaporkan kepada Nabi untuk mendapatkan penjelasan, yaitu mana di antara keduanya yang paling benar. Sebagaimana jawaban terhadap kasus di muka, Nabi ternyata membenarkan keduanya. Baik yang shalat di perkampungan Yahudi maupun yang mengikuti anjuran Nabi, keduanya dianggap benar. Dengan sikap dan cara itu, maka umat menjadi bersatu. Sekarang ini, rupanya sudah jauh berbeda. Perbedaan kecil dan sederhana saja, kadang justru dibikin seolah-olah amat besar. Padahal, membesar-besarkan perbedaan seperti itu kadang merugikan. Dengan adanya perbedaan, apapun baiknya, sesuatu dianggap keliru dan harus ditolak.
Hal tersebut, seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini, hingga ramai dibicarakan orang yaitu tentang Full Day School. Konsep itu sebenarnya dilatar belakangi oleh niat baik, yakni untuk meninghkatkan kualitas pendidikkan di sekolah dasar dan menengah. Sudah banyak orang merasa prihatin terhadap hasil pendidikan selama ini. Maka, Mendikbud yang baru saja dilantik menyampaikan gagasan untuk mengatasinya. Namun apa yang terjadi, ternyata segera muncul sikap pro dan kontra. Lebih aneh lagi, terasa bahwa antara yang setuju dan tidak, ternyata ada yang membawa-bawa latar belakang perbedaan paham yang bersifat furu� dimaksud.
Oleh karena Pak Muhadjir Effendy berasal dari Muhammadiyah, maka orang Muhammadiyah menunjukkan dukungannya. Sebaliknya, orang NU, sekalipun sudah banyak lembaga pendidikan yang dikelolanya sudah lama mengetrapkan konsep itu, tidak sedikit yang menolaknya. Padahal, jika mau husnudhan, konsep Full Day School yang dilontarkan Pak Muhadjir, sebagai Mendikbud sangat mungkin terinspirasi oleh lembaga pendidikan, tempat anaknya disekolahkan, yaitu di SD Sabilillah Malang. Sekolah ini dirintis dan dibina oleh Prof. KH. Tholkhah Hasan, tokoh NU tingkat nasional, dan semua guru di sekolah itu juga orang NU. Mungkin, jika perbedaan itu tidak terlalu dibesar-besarkan, orang NU akan merasa senang, bahwa tokoh Muhammadiyah menyekolahkan ananya di lembaga pendidikan yang dikelola NU, dan apalagi konsepnya dijadikan inspirasi kebijakan secara nasional.
Maka seharusnya, dalam soal ibadah pun perlu dilihat hasilnya, bukan sekedar dinilai caranya. Beribadah itu adalah agar meningkatkan akhlak, mendekatkan diri pada Allah, menjadikan hati teduh dan damai. Apapun yang menjadi pilihan, jika sudah menghasilkan tujuan yang diinginkan, maka bukankah pilihan itu sudah benar dan berhasil. Sebaliknya, merasa pilihannya benar, tetapi yang bersangkutan selalu saja menyalahkan, merendahkan, menganggap orang lain ibadahnya salah dan tidak diterima, maka ibadahnya sendiri sebenarnya belum berhasil. Buktinya, mereka sudah shalat, puasa, dan haji misalnya, tetapi ia masih meributkan orang lain. Oleh karena itu, perbedaan itu sebenarnya tidak perlu melahirkan jarak atau mengganggu tali sillaturrakhiem, agar konsep FDS yang baik tersebut, tidak menjadi polemik, dan ibadah pun berhasil melahirkan akhlak mulia. Wallahu a�lam
Namun tidak banyak orang melihat dari aspek hasil dari ibadah itu, tetapi lebih memperhatikan cara menjalankannya. Memang cara dimaksud terdapat perbedaan, tetapi sebenarnya juga tidak telalu jauh. Sementara orang menyebutnya hanya dari aspek yang bersifat furu�, yakni cabang. Misalnya, dalam penentuan awal dan akhir ramadhan, sementara menggunakan hisab dan lainnya rukyat. Sebagian menggunakan doa kunut ketika shalat subuh dan lainnya tidak, sebagian shalat tarweh 8 raka�at dan lainnya 20 rakaat, dan semacamnya.
Perbedaan semacam itu sebenarnya sudah muncul sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi ketika terjadi perbedaan, Rasulullah segera menyelesaikan. Contoh yang pernah saya membacanya, bahwa suatu ketika para sahabat berkumpul membicarakan sesuatu. Pada saat datang waktu shalat, oleh karena tidak ada air, mereka bersepakat bertayamum, kemudian shalat berjama�ah. Selang beberapa waktu kemudian, menurut kisah itu, turunlah hujan sehingga terdapat air.
Datangnya air hujan tersebut ternyata menyulut perdebatan di antara para sahabat. Sebagian berpendapat bahwa harus mengambil air wudhu dan shalat kembali, sementara lainnya menganggap tidak perlu lagi. Mereka yang tidak mengulang shalatnya beralasan, sekalipun bersuci hanya dengan tayamum sudah cukup. Namun perbedatan itu ternyata tidak selesai, dan akhirnya sama-sama meminta penjelasan kepada Rasulullah. Mendengarkan adanya pandangan yang berbeda itu, Nabi mengatakan bahwa semuanya benar, baik yang mengulangi shalatnya maupun yang tidak.
Contoh sederhana lainnya, bahwa pada suatu saat, Nabi bersama para sahabatnya pergi ke suatu tempat yang jaraknya agak jauh. Di tengah perjalanan, oleh karena melewati perkampungan Yahudi, dengan maksud agar tidak sama-sama terganggu, Nabi menganjurkan supaya shalat diakhirkan setelah melewati kampung dimaksud. Atas petunjuk Nabi tersebut, sebagian sahabat merasa khawatir kehabisan waktu shalat, sehingga tanpa sepengetahuan Nabi, mereka shalat sendirian. Sementara yang lain, apapun yang terjadi, bersikukuh mengikuti petunjuk Nabi.
Kejadian tersebut dilaporkan kepada Nabi untuk mendapatkan penjelasan, yaitu mana di antara keduanya yang paling benar. Sebagaimana jawaban terhadap kasus di muka, Nabi ternyata membenarkan keduanya. Baik yang shalat di perkampungan Yahudi maupun yang mengikuti anjuran Nabi, keduanya dianggap benar. Dengan sikap dan cara itu, maka umat menjadi bersatu. Sekarang ini, rupanya sudah jauh berbeda. Perbedaan kecil dan sederhana saja, kadang justru dibikin seolah-olah amat besar. Padahal, membesar-besarkan perbedaan seperti itu kadang merugikan. Dengan adanya perbedaan, apapun baiknya, sesuatu dianggap keliru dan harus ditolak.
Hal tersebut, seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini, hingga ramai dibicarakan orang yaitu tentang Full Day School. Konsep itu sebenarnya dilatar belakangi oleh niat baik, yakni untuk meninghkatkan kualitas pendidikkan di sekolah dasar dan menengah. Sudah banyak orang merasa prihatin terhadap hasil pendidikan selama ini. Maka, Mendikbud yang baru saja dilantik menyampaikan gagasan untuk mengatasinya. Namun apa yang terjadi, ternyata segera muncul sikap pro dan kontra. Lebih aneh lagi, terasa bahwa antara yang setuju dan tidak, ternyata ada yang membawa-bawa latar belakang perbedaan paham yang bersifat furu� dimaksud.
Oleh karena Pak Muhadjir Effendy berasal dari Muhammadiyah, maka orang Muhammadiyah menunjukkan dukungannya. Sebaliknya, orang NU, sekalipun sudah banyak lembaga pendidikan yang dikelolanya sudah lama mengetrapkan konsep itu, tidak sedikit yang menolaknya. Padahal, jika mau husnudhan, konsep Full Day School yang dilontarkan Pak Muhadjir, sebagai Mendikbud sangat mungkin terinspirasi oleh lembaga pendidikan, tempat anaknya disekolahkan, yaitu di SD Sabilillah Malang. Sekolah ini dirintis dan dibina oleh Prof. KH. Tholkhah Hasan, tokoh NU tingkat nasional, dan semua guru di sekolah itu juga orang NU. Mungkin, jika perbedaan itu tidak terlalu dibesar-besarkan, orang NU akan merasa senang, bahwa tokoh Muhammadiyah menyekolahkan ananya di lembaga pendidikan yang dikelola NU, dan apalagi konsepnya dijadikan inspirasi kebijakan secara nasional.
Maka seharusnya, dalam soal ibadah pun perlu dilihat hasilnya, bukan sekedar dinilai caranya. Beribadah itu adalah agar meningkatkan akhlak, mendekatkan diri pada Allah, menjadikan hati teduh dan damai. Apapun yang menjadi pilihan, jika sudah menghasilkan tujuan yang diinginkan, maka bukankah pilihan itu sudah benar dan berhasil. Sebaliknya, merasa pilihannya benar, tetapi yang bersangkutan selalu saja menyalahkan, merendahkan, menganggap orang lain ibadahnya salah dan tidak diterima, maka ibadahnya sendiri sebenarnya belum berhasil. Buktinya, mereka sudah shalat, puasa, dan haji misalnya, tetapi ia masih meributkan orang lain. Oleh karena itu, perbedaan itu sebenarnya tidak perlu melahirkan jarak atau mengganggu tali sillaturrakhiem, agar konsep FDS yang baik tersebut, tidak menjadi polemik, dan ibadah pun berhasil melahirkan akhlak mulia. Wallahu a�lam
Sumber : Imamsuprayogo.com