Sudah seringkali saya memperoleh pertanyaan dari
beberapa kalangan terkait dengan betapa sulitnya meraih kesempurnaan
dalam beragama. Mereka bertanya, bagaimana cara agar setelah belajar
agama sekian lama dan mengamalkannya, hatinya menjadi tenang, damai,
dan tidak galau. Menurut pengakuan mereka itu, sekalipun sudah beragama
sekian lama, ternyata masih sulit untuk meninggalkan rasa dengki,
hasut, permusuhan, marahan kepada orang lain tanpa sebab, takabur,
bakhil, dan sifat buruk lainnya. Mereka itu berkeinginan agar menjadi
orang baik, akan tetapi meraih apa yang diinginkan itu ternyata
dirasakan tidak mudah.
Mereka yang mengajukan pertanyaan itu juga melihat kenyataan bahwa banyak orang beragama tetapi juga masih konflik dengan orang lain, berebut jabatan, saling memfitnah, menjatuhkan, menganggap orang lain lebih rendah dan keliru, tidak bisa bersukur, bersabar, dan juga bersikap ikhlas. Akhirnya mereka berkesimpulan bahwa antara beragama dan tidak seakan-akan tidak ada bedanya. Jika pada orang yang tidak beragama tidak ada kedamaian, kejujuran dan juga keadilan, maka pada orang yang mengaku beragama sekalipun juga mengalami suasana batin yang serupa.
Merasakan kenyataan tersebut, maka mereka bertanya, di mana letak kekeliruan semua itu. Islam menjanjikan bahwa siapa yang memeluknya akan memperoleh kedamaian, ketenangan dan keselamatan, tetapi janji yang indah itu seakan-akan sulit diperoleh. Namun mereka tetap percaya, sebab Islam itu sendiri artinya adalah damai. Siapapun yang ber-Islam akan mengedepankan kejujuran, keadilan, dan keselamatan, sehingga diperoleh kedamaian yang dimaksudkan itu. Akan tetapi pada kenyataannya, keindahan yang digambarkan itu tidak sepenuhnya bisa dilihat dan dirasakan. Bahkan hingga di lembaga pendidikan Islam sekalipun, banyak muncul peristiwa yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai Islam.
Tidak sulit dicari di lembaga pendidikan Islam, suasana konflik, permusuhan, dan bahkan berebut jabatan hingga mengakibatkan institusi dimaksud menjadi kehilangan energinya, sehingga sulit meraih kemajuan. Semua tahu bahwa sebenarnya konflik dan permusuhan itu dilarang oleh agama, dan demikian pula saling hasut menghasut, berbohong, menipu, mengkhianati janji, dan lain sebaganya. Akan tetapi lagi-lagi, suasana yang merugikan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam tersebut ternyata tidak ada kekuatan yang mampu menghilangkannya. Padahal misi utama Rasulullah diutus ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Menghadapi kenyataan terserbut, sementara orang bertanya dan atau mencari jawabannya melalui pendekatan logika dan atau nalar ide. Disebutkan misalnya, mereka yang terlibat konflik, hasut menghasut, saling memfitnah, merendahkan orang, dan lain-lain itu disebabkan oleh karena pengetahuan agamanya masih terbatas. Akan tetapi, kesimpulan itu segera terbantahkan oleh kenyataan bahwa mereka yang berperilaku jauh dari nilai-nilai Islam tersebut sebenarnya telah mengenyam pendidikan cukup lama, sehingga telah mengusai pengetahuan agama secara cukup. Bahkan, di antara mereka sudah mengajar agama, dan berlatar belakang pendidikan puncak, berumur, dan seterusnya. Jika demikian halnya, maka perilaku tersebut tidak ada kaitannya dengan umur, pengalaman, maupun pengetahuan agamanya.
Jika keluasan pengetahuan agama tidak selalu berjalan seiring dengan kesempurnaan di dalam menjalankan agama bagi seseorang, maka pertanyaan mendasar selanjutnya adalah apa sebenarnya yang mampu membentuk perilaku keberagamaan itu. Sudah barang tentu, ilmu agama pasti penting dikuasai oleh siapa saja yang beragama. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua orang yang menguasai ilmu agama secara otomatis mampu menjalankannya. Banyak orang yang telah menguasai berbagai jenis kitab tentang agama tetapi praktek keberagamaannya masih belum seimbang atau sebanding dengan ilmu yang dikuasainya itu.
Maka ilmu pengetahuan tidak menjamin para pemiliknya mampu menjalankannya, tidak terkecuali pengetahuan agama. Oleh karena itu, masih diperlukan kekuatan lain yang menjadikan seseorang selalu menjalankan agamanya dengan baik. Kekuatan itu seharusnya dicari dengan sungguh-sungguh dan hasilnya dijadikan pintu keluar untuk mengatasi problem dimaksud. Mungkin pengetahuan yang diperoleh baru dikenali melalui otaknya, dan bukan dimasukkan ke dalam hatinya. Sementara itu, yang memerintah atau bahkan mengendalikan anggota tubuh seseorang adalah bukan otaknya, melainkan hatinya. Oleh karena itu manakala pengetahuan sebatas berada di otak atau nalar maka tidak akan berpengaruh terhadap perilaku sehari-hari.
Pengetahuan baru menjadi kekutan penggerak perilaku seseorang adalah tatkala pengetahuan itu berada di hati yang bersangkutan. Sayangnya, hati tidak digerakkan oleh pengetahuan, melainkan oleh kekuatan lain yang mampu menggerakkan. Apa yang disebut dengan kekuatan lain itu, sementara orang menyebutnya dengan istilah taufiq dan hidayah. Kedua kekuatan yang dimaksudkan itu tidak seorang pun mampu memberi dan atau menggerakkan. Maka cara terbaik, agar hati seseorang berubah menjadi semakin jernih, terang, dan sehat, maka harus dilakukan dengan cara memohon kepada Dzat yang berwenang mengurusnya, ialah Allah dan Rasul-Nya. Manakala hati atau ruh seseorang telah diurus oleh Dzat Yang Maha Berwenang, maka dengan sendirinya kesempurnaan dalam beragama akan berhasil diraih. Wallahu a�lam
Sumber : Imamsuprayogo.com