Dalam kehidupan ini selalu ada persaingan. Sebagian
menang dan sebagian lainnya kalah. Sebagian unggul dan sebagian lainnya
tertinggal. Begitu pula dalam mendapatkan rizki, sebagian memperoleh
banyak, melebihi yang sebenarnya dibutuhkan dan sebaliknya, sebagian
kalah, dan bahkan tidak mencukupi dari apa yang dibutuhkan. Mereka yang
berlebih disebut kaya,. sementara yang berkekurangan disebut miskin.
Perbedaan tersebut sebenarnya adalah merupakan sunnatullah. Tidak akan mungkin semuanya, oleh karena memiliki potensi berbeda, akan memperoleh jumlah pendapatan yang sama. Kekuatan masing-masing orang berbeda, dan kemudian menghasilkan sesuatu yang tidak sama, sebenarnya adalah merupakan keniscayaan. Kekuatan dimaksud berupa pikiran, tenaga, semangat,. dan peluang atau momentum untuk meraih keberhasilan itu ternyata tidak sama.
Perbedaan yang bersifat pembawaan seseorang dibanding lainnya diperlebar lagi oleh hasil rejayasa yang ditempuh untuk memperkuatnya. Pikiran yang semakin cerdas, tentu akan menghasilkan produk yang semakin banyak dan berkualitas pula. Kualitas pikiran atau akal seseorang selalu akan menentukan hasil yang akan diperoleh, baik terkait kualitas maupun kuantitasnya. Orang-orang yang berakal, mampu menciptakan sesuatu yang dibutuhkan oleh banyak orang. Ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan oleh akal.
Siapapun yang akalnya kuat, maka akan memenangkan kompetisi dimaksud, tidak terkecuali kompetisi di dalam memperoleh rizki. Orang yang akalnya kuat mampu membaca dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan ini. Mereka menciptakan berbagai jenis alat transportasi dan alat komunikasi sedemikian canggih misalnya, sehingga berhasil mendapatkan keuntungan dari usahanya itu. Sementara lainnya, hanya sekedar menjadi konsumen, dan harus membayar produk teknologi yang dimanfaatkan itu.
Di berbagai belahan dunia, umat Islam ternyata masih kalah bersaing di dalam memanfaatkan akalnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhasil diciptakan masih tertingal dari umat lain. Itulah sebabnya di dalam berkompetisi dalam berbagai lapangan kehidupan mengalami ketertinggalan, tidak terkecuali di dalam memperoleh rizki. Keadaannya semakin tertinggal, oleh karena untuk mengejar ketertinggalan itu juga membutuhkan biaya atau kekuatan ekonomi.
Padahal ajaran Islam sebenarnya menganjurkan agar menggunakan akal dalam menjalani hidup ini. Namun di dalam menggunakan akal, umat Islam harus mendasarkan pada kekuatan yang ada di dalam hatinya. Petunjuk dari kekuatan yang ada di dalam hati itu, dimaksudkan agar manusia tidak melakukan kesalahan, membuat kerusakan, tidak tersesat, atau salah dalam mengambil jalan hidupnya. Orientasi keselamatan, bagi umat Islam, selalu menjadi pilihan dibanding sekedar kemenangan di dalam bersaing.
Dalam hal mendapatkan rizki, umat Islam mengambil jalan selektif, yaitu membatasi pada yang halal, baik, dan membawa berkah. Umat Islam tidak mau mengambil barang haram, milik orang lain tanpa prosedure yang syah, dan semacamnya. Itulah di antara sebabnya, umat Islam selalu kalah secara kuantitatif dalam memperoleh rizki. Dalam persaingan apapun ketika masing-masing pihak tidak berpegang pada aturan yang sama, maka mereka yang terlalu banyak diatur akan mengalami kekalahan.
Oleh karena itu sebenarnya, kekalahan umat Islam dalam bersaing di bidang ekonomi setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kedua adalah oleh karena umat Islam selalu selektif di dalam mendapatkan rizki. Namun di balik ketertinggalan itu, umat Islam memang memiliki pilihan hidup, yaitu mendasarkan pada keyakinannya di dalam memandang kehidupan, selalu berorientasi pada keselamatan, dan selalu memilih yang terbaik yang hal itu tidak identik dengan jumlah, melainkan pada ukuran yang dianggap mulia yang harus dipeliharanya. Wallahu a�lam
Perbedaan tersebut sebenarnya adalah merupakan sunnatullah. Tidak akan mungkin semuanya, oleh karena memiliki potensi berbeda, akan memperoleh jumlah pendapatan yang sama. Kekuatan masing-masing orang berbeda, dan kemudian menghasilkan sesuatu yang tidak sama, sebenarnya adalah merupakan keniscayaan. Kekuatan dimaksud berupa pikiran, tenaga, semangat,. dan peluang atau momentum untuk meraih keberhasilan itu ternyata tidak sama.
Perbedaan yang bersifat pembawaan seseorang dibanding lainnya diperlebar lagi oleh hasil rejayasa yang ditempuh untuk memperkuatnya. Pikiran yang semakin cerdas, tentu akan menghasilkan produk yang semakin banyak dan berkualitas pula. Kualitas pikiran atau akal seseorang selalu akan menentukan hasil yang akan diperoleh, baik terkait kualitas maupun kuantitasnya. Orang-orang yang berakal, mampu menciptakan sesuatu yang dibutuhkan oleh banyak orang. Ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan oleh akal.
Siapapun yang akalnya kuat, maka akan memenangkan kompetisi dimaksud, tidak terkecuali kompetisi di dalam memperoleh rizki. Orang yang akalnya kuat mampu membaca dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan ini. Mereka menciptakan berbagai jenis alat transportasi dan alat komunikasi sedemikian canggih misalnya, sehingga berhasil mendapatkan keuntungan dari usahanya itu. Sementara lainnya, hanya sekedar menjadi konsumen, dan harus membayar produk teknologi yang dimanfaatkan itu.
Di berbagai belahan dunia, umat Islam ternyata masih kalah bersaing di dalam memanfaatkan akalnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhasil diciptakan masih tertingal dari umat lain. Itulah sebabnya di dalam berkompetisi dalam berbagai lapangan kehidupan mengalami ketertinggalan, tidak terkecuali di dalam memperoleh rizki. Keadaannya semakin tertinggal, oleh karena untuk mengejar ketertinggalan itu juga membutuhkan biaya atau kekuatan ekonomi.
Padahal ajaran Islam sebenarnya menganjurkan agar menggunakan akal dalam menjalani hidup ini. Namun di dalam menggunakan akal, umat Islam harus mendasarkan pada kekuatan yang ada di dalam hatinya. Petunjuk dari kekuatan yang ada di dalam hati itu, dimaksudkan agar manusia tidak melakukan kesalahan, membuat kerusakan, tidak tersesat, atau salah dalam mengambil jalan hidupnya. Orientasi keselamatan, bagi umat Islam, selalu menjadi pilihan dibanding sekedar kemenangan di dalam bersaing.
Dalam hal mendapatkan rizki, umat Islam mengambil jalan selektif, yaitu membatasi pada yang halal, baik, dan membawa berkah. Umat Islam tidak mau mengambil barang haram, milik orang lain tanpa prosedure yang syah, dan semacamnya. Itulah di antara sebabnya, umat Islam selalu kalah secara kuantitatif dalam memperoleh rizki. Dalam persaingan apapun ketika masing-masing pihak tidak berpegang pada aturan yang sama, maka mereka yang terlalu banyak diatur akan mengalami kekalahan.
Oleh karena itu sebenarnya, kekalahan umat Islam dalam bersaing di bidang ekonomi setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kedua adalah oleh karena umat Islam selalu selektif di dalam mendapatkan rizki. Namun di balik ketertinggalan itu, umat Islam memang memiliki pilihan hidup, yaitu mendasarkan pada keyakinannya di dalam memandang kehidupan, selalu berorientasi pada keselamatan, dan selalu memilih yang terbaik yang hal itu tidak identik dengan jumlah, melainkan pada ukuran yang dianggap mulia yang harus dipeliharanya. Wallahu a�lam
Sumber : Imamsuprayogo.com