Selama ini pada umumnya orang menganggap bahwa
sumber kekuatan manusia itu adalah berada di otak atau akal. Atas
anggapan itu maka orang memposisikan otak segala-galanya. Manakala otak
seseorang itu cerdas, maka hidupnya akan berhasil. Keinginan apa saja
bisa diselesaikan lewat otaknya itu. Oleh karena itu, orang berusaha
mencari lembaga pendidikan yang mampu mencerdaskan otak anak-anaknya.
Demikian pula lembaga pendidikan juga sudah terlanjur percaya bahwa seseorang disebut cerdas manakala mampu mengusai beberapa jenis disiplin ilmu, yaitu misalnya biologi, fisika, kimia, sosiologi, psikologi, sejarah, bahasa, dan sejenisnya. Oleh karena itu, di lembaga pendidikan diajarkan tentang disiplin ilmu dimaksud sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Para pengelola pendidikan, tidak terkecuali pemerintah, menganggap bahwa jika seseorang sudah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu tersebut dianggap cerdas.
Sementara itu, untuk mengetahui seseorang telah menguasai disiplin ilmu atau belum, maka dibuatkanlah soal-soal ujian, yang bagi siapa saja berhasil menjawabnya dengan benar, dianggap telah mengusai ilmu dimaksud dan dinyatakan lulus. Oleh karena banyaknya jumlah peserta ujian, maka diabuatkanlah jenis soal yang jawabannya dapat dengan mudah dikoreksi oleh alat modern, yakni komputer. Sudah barang tentu, jenis soal dimaksud tidak selalu berhasil menggambarkan kemampuan seseorang. Buktinya, ada saja siswa yang dalam sehari-hari dikenal pintar, tetapi hasil ujiannya tidak sebagaimana digambarkan itu.
Pendidikan dengan mengedepankan kekuatan otak atau akal tersebut, selama ini juga telah dirasakan kekurangannya, misalnya di antaranya hanya berhasil mengembangkan aspek kognitif, dan belum berhasil mengembangkan aspek lainnya, yaitu aspek affektif dan psikomoriknya. Seorang anak yang meiliki kelebihan kognitif tetapi lemah pada aspek lainnya maka dirasa kurang. Secara intelektuial anak yang bersangkutan unggul, tetapi tidak demikian itu pada aspek sosial, spiritual, dan lainnya. Kekurangan yang demikian itu sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh banyak kalangan, tetapi belum mendapatkan pemecahan yang diangap signifikan.
Mengacu kepada kitab suci al Qur�an, sebenarnya sumber kekuatan manusia itu bukan pada otak atau akal, melainkan pada apa yang disebut dengan istilah ruh. Keterangan itu dapat dibaca di dalam Surat al-Sajadah ayat 9 : � Kemudian Dia menyempurnakan (kejadian) manusia dan meniupkan ke dalamnya Ruh (berasal) dari pada-Nya dan Dia menjadikan (Ruh itu) bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, sedikit sekali kamu yang bersyukur�. Bermula dari kekuatan ruh itu maka telinga akan dapat mendengar, mata akan dapat melihat, dan tentu akal akan dapat berpikir. Oleh sebab itu, panca indera dan semua organ tubuh hanya berposisi sebagai alat, tidak terkecuali adalah akal. Sementara itu, adalah ruh yang menjadikan akal untuk berpikir.
Mendasarkan pada pemahaman tersebut, maka yang utama seharusnya dididik adalah ruh. Manakala ruh itu terdidik dan kemudian menjadi sehat, dan baik, maka semua organ tubuh manusia akan berfungsi dan menjadi baik pula. Dalam sebuah hadits nabi disebutkan bahwa, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, manakala daging itu baik maka semuanya akan menjadi baik, dan demikian pula sebaliknya. Sedangkan segumpal daging itu adalah hati. Sedangkan ruh adalah sesuatu kekuatan yang berada di dalam hati itu.
Memang semua anggota badan harus dilatih agar menjadi kuat dan berfungsi maksimal. Tangan dan kaki misalnya, seharusnya dilatih dengan berolah raga, agar menjadi kuat. Demikian pula, telinga, mata, dan juga otak. Semua anggota tubuh itu memerlukan perawatan dan pelatihan secara terus menerus agar memiliki kekuatan hingga dapat berfungsi maksimal. Akan tetapi semua anggota tubuh itu seharusnya selalu berada di bawah komando apa yang disebut dengan ruh dimaksud. Mengabaikan ruh dalam menjalankan kegiatan pendidikan, maka sama artinya dengan tidak memperhatikan sumber kekuatan dan pengendali gerak kehidupan manusia itu sendiri. Akibatnya ilmu yang diajarkan menjadi tidak bermanfaat sebagaimana seharusnya dan bahkan akan dapat mencelakakan dirinya sendiri dan bahkan terhadap orang lain. Wallahu a�lam
Demikian pula lembaga pendidikan juga sudah terlanjur percaya bahwa seseorang disebut cerdas manakala mampu mengusai beberapa jenis disiplin ilmu, yaitu misalnya biologi, fisika, kimia, sosiologi, psikologi, sejarah, bahasa, dan sejenisnya. Oleh karena itu, di lembaga pendidikan diajarkan tentang disiplin ilmu dimaksud sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Para pengelola pendidikan, tidak terkecuali pemerintah, menganggap bahwa jika seseorang sudah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu tersebut dianggap cerdas.
Sementara itu, untuk mengetahui seseorang telah menguasai disiplin ilmu atau belum, maka dibuatkanlah soal-soal ujian, yang bagi siapa saja berhasil menjawabnya dengan benar, dianggap telah mengusai ilmu dimaksud dan dinyatakan lulus. Oleh karena banyaknya jumlah peserta ujian, maka diabuatkanlah jenis soal yang jawabannya dapat dengan mudah dikoreksi oleh alat modern, yakni komputer. Sudah barang tentu, jenis soal dimaksud tidak selalu berhasil menggambarkan kemampuan seseorang. Buktinya, ada saja siswa yang dalam sehari-hari dikenal pintar, tetapi hasil ujiannya tidak sebagaimana digambarkan itu.
Pendidikan dengan mengedepankan kekuatan otak atau akal tersebut, selama ini juga telah dirasakan kekurangannya, misalnya di antaranya hanya berhasil mengembangkan aspek kognitif, dan belum berhasil mengembangkan aspek lainnya, yaitu aspek affektif dan psikomoriknya. Seorang anak yang meiliki kelebihan kognitif tetapi lemah pada aspek lainnya maka dirasa kurang. Secara intelektuial anak yang bersangkutan unggul, tetapi tidak demikian itu pada aspek sosial, spiritual, dan lainnya. Kekurangan yang demikian itu sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh banyak kalangan, tetapi belum mendapatkan pemecahan yang diangap signifikan.
Mengacu kepada kitab suci al Qur�an, sebenarnya sumber kekuatan manusia itu bukan pada otak atau akal, melainkan pada apa yang disebut dengan istilah ruh. Keterangan itu dapat dibaca di dalam Surat al-Sajadah ayat 9 : � Kemudian Dia menyempurnakan (kejadian) manusia dan meniupkan ke dalamnya Ruh (berasal) dari pada-Nya dan Dia menjadikan (Ruh itu) bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, sedikit sekali kamu yang bersyukur�. Bermula dari kekuatan ruh itu maka telinga akan dapat mendengar, mata akan dapat melihat, dan tentu akal akan dapat berpikir. Oleh sebab itu, panca indera dan semua organ tubuh hanya berposisi sebagai alat, tidak terkecuali adalah akal. Sementara itu, adalah ruh yang menjadikan akal untuk berpikir.
Mendasarkan pada pemahaman tersebut, maka yang utama seharusnya dididik adalah ruh. Manakala ruh itu terdidik dan kemudian menjadi sehat, dan baik, maka semua organ tubuh manusia akan berfungsi dan menjadi baik pula. Dalam sebuah hadits nabi disebutkan bahwa, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, manakala daging itu baik maka semuanya akan menjadi baik, dan demikian pula sebaliknya. Sedangkan segumpal daging itu adalah hati. Sedangkan ruh adalah sesuatu kekuatan yang berada di dalam hati itu.
Memang semua anggota badan harus dilatih agar menjadi kuat dan berfungsi maksimal. Tangan dan kaki misalnya, seharusnya dilatih dengan berolah raga, agar menjadi kuat. Demikian pula, telinga, mata, dan juga otak. Semua anggota tubuh itu memerlukan perawatan dan pelatihan secara terus menerus agar memiliki kekuatan hingga dapat berfungsi maksimal. Akan tetapi semua anggota tubuh itu seharusnya selalu berada di bawah komando apa yang disebut dengan ruh dimaksud. Mengabaikan ruh dalam menjalankan kegiatan pendidikan, maka sama artinya dengan tidak memperhatikan sumber kekuatan dan pengendali gerak kehidupan manusia itu sendiri. Akibatnya ilmu yang diajarkan menjadi tidak bermanfaat sebagaimana seharusnya dan bahkan akan dapat mencelakakan dirinya sendiri dan bahkan terhadap orang lain. Wallahu a�lam
Sumber : Imamsuprayogo.com